Buah Pikir

ruang kecil di sudut hati

Kategori: tematik religius

I’JÂZ AL-QUR’AN

Pendahuluan

Kita selama ini mungkin sering mendengar istilah mukjizat Al-Qur’an, namun sejarahnya barangkali kita tidak semuanya tahu. Dalam makalah ini penulis ingin mencoba mengupas sedikit tentang i’jâz mulai dari definisi, polemik, dan aspek-aspek i’jâz al-Qur’ân. Semoga dengan sedikit penjelasan ini, ada hikmah dan manfaat yang bisa kita petik.

Mukjizat pada hakikatnya adalah sesuatu yang diturunkan Allah swt. pada nabi-Nya sebagai bukti akan kebenaran dia sebagai utusan Allah. Dan, sesuatu itu dinamakan mukjizat atau melemahkan karena memang manusia lemah atau tidak mampu mendatangkan yang semisalnya.[1] Di dalam, kitab Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân disebutkan bahwa ada 5 syarat utama sesuatu itu dinamakan mukjizat:

Pertama, sesuatu itu tidak ada yang mampu mewujudkannya kecuali Allah swt.

Kedua, sesuatu itu harus yang luar biasa dan bertentangan dengan adat kebiasaan atau akal sehat.

Ketiga, sosok yang mengemban mukjizat haruslah mengakui bahwa hal luarbiasa yang ia tunjukkan merupakan anugerah dari Allah swt.

Keempat, ada pengakuan dari orang yang melihat kemukjizatan tersebut.

Kelima, tidak ada seorang pun yang mampu melawan mukjizat tersebut dalam bentuk apapun.[2]

Kelima hal di atas merupakan syarat mutlak disebutnya sesuatu itu sebagai mukjizat. Jika satu saja dari kelima syarat di atas berkurang maka tidak memenuhi syarat untuk menyebut sesuatu sebagai mukjizat.

Definisi I’jâz

I’jâz berasal dari akar kata ‘ajaza, kemudian diberi awalan hamzah qatha’ menjadi a’jaza. Secara etimologi berarti lemah dan tidak mampu melakukan sesuatu. Makanya nenek-nenek dalam Al-Qur’an disebut al-‘ajûz.[3] Dan, ini semakna dengan ungkapan Qabil pada surah Al-Mâ’idah, ayat 31 berikut ini:

قَالَ يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ

Qabil berkata, Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini? Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal. (QS. Al-Mâ’idah [5]: 31) [4]

Sedangkan makna i’jâz atau mu’jizatyang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesai menjadi mukjizat—secara terminologi adalah,

أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِي سَالِمٌ عَنِ الْمُعَارِضَةِ

“Sesuatu yang supernormal atau extraordinary disertai dengan tantangan (untuk mendatangkan yang semisal, yang mana tantangan itu) selamat dari tandingan (resistan).”[5]

Intinya, mukjizat adalah kejadian luar biasa yang dapat melemahkan dan mengalahkan lawan untuk membuktikan kebenaran risalah seorang nabi. Jadi, hikmah dibalik mukjizat adalah untuk mengajak suatu kaum atau umat ke jalan kebenaran dan kebahagiaan. Orang yang pertama berbicara mengenai mukjizat Al-Qur’an adalah Al-Baqilani, Ar-Rummani, Abdul Qahir, Al-Khaththabi, dan As-Sakkaki.[6] Mukjizat bisa bersifat inderawi (hissiyah) dan rasional (‘aqliyah). Kebanyakan mukjizat atas Bani Israil itu bersifat inderawi ini karena saat itu mereka adalah kaum terbelakang yang memiliki keterbatasan berpikir.[7] Sedangkan, mukjizat atas umat Nabi Muhammad saw. lebih bersifat rasional karena mereka hidup di zaman maju dan memiliki kemampuan berpikir yang kuat. Jadi, karakter mukjizat yang diturunkan selalu disesuaikan dengan kondisi umat sang nabi saat itu. Kesimpulan ini berangkat dari sabda Rasulullah saw.,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلَهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوْتِيْتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللهُ إِلَيَّ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرُهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak ada seorang pun nabi dari nabi-nabi yang ada kecuali dia diberi sesuatu yang sama (mukjizat), yang diimani manusia. Adapun mukjizat yang secara khusus diberikan padaku adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah dan aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat.’” (HR. Al-Bukhari)

Dalam konteks ini, Imam Az-Zarkasyi berkata,

فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا جَعَلَ مُعْجِزَاتِ الأَنْبِيَاءِ بِالْوَجْهِ الشَّهِيْرِ أَبْرَع مَا تَكُوْنُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ الَّذِي أَرَادَ إِظْهَارُهُ فَكَانَ السِّحْرُ فِي مُدّة مُوْسَى قَدِ انْتَهَى إِلَى غَايَتِهِ وَكَذَا الطِّبُّ فِي زَمَانِ عِيْسَى وَالْفَصَاحَةُ فِي مُدَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Sesungguhnya Allah menjadikan mu’jizat para nabi sesuai dengan bidang yang dikenal sebagai sesuatu yang paling bagus pada zaman nabi yang ingin Dia munculnkan, maka sihir pada masa Musa telah mencapai pncaknya, demikian pula kedokteran pada masa Isa, dan keindahan berbahasa pada masa Nabi Muhammad.”[8]

Tapi, pemikir-pemikir baru seperti Hassan Hanafi punya pandangan dan pemahaman yang berbeda. Menurutnya, i’jâz mengalami evolusi (tathawwur al-wahyi). Menurut Hassan Hanafi pengertian i’jâz al-qur’ân sebagai sesuatu kejadian luar biasa untuk menunjukkan kebenaran risalah Rasulullah saw. dan tidak seorang manusia pun yang mampu menandinginya, adalah pemahaman klasik. Menurutnya, Al-Qur’an adalah fakta empirik berupa susunan kalimat yang dikenal semua orang, baik yang buta huruf (ummi), yang terpelajar, ataupun yang menggunakan akal, indera dan perasaannya untuk memperoleh kepuasaan spiritual, pandangan dan kebenaran.[9]

Intinya, Hasan Hanafi ingin mengatakan bahwa fungsi i’jâz Al-Qur’an sudah tidak lagi dominan sebagai tantangan untuk mendatangkan yang semisal. Sebab, yang ditantang pun saat ini sudah tidak ada lagi yang mampu sehingga kemukjizatan Al-Qur’an dikembangkan pada aspek lain. Seperti, baru-baru ini muncul buku yang mengupas tentang kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an, kemukjizatan angka, kemukjizatan bahasa, kemukjizatan alam semesta dan lain-lain.

Artinya anggapan orang terhadap Al-Qur’an sudah berubah tidak sejumud bangsa Arab di masa Nabi Muhammad saw. Seperti yang dijelaskan dalam surah Saba’, ayat 43 berikut:

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَآ إِلاَّ رَجُلٌ يُرِيدُ أَن يَصُدَّكُمْ عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَذَآ إِلآ إِفْكٌ مُّفْتَرَى وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمْ إِنْ هَذَآ إِلآ سِحْرٌ مُّبِينٌ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata, ‘Orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kamu dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu,’ dan mereka berkata, ‘(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.’ Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran ketika kebenaran (Al-Qur’an) itu datang kepada mereka, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.’” (QS. Saba’ [34]: 43)

Jadi, seperti itulah pandangan orang-orang musyrik Mekkah terhadap Al-Qur’an ketika itu. Mengejeknya seolah ucapan para dukun. Dalam kondisi seperti ini, maka Al-Qur’an sebagai mukjizat ia menantang orang-orang kafir Quraisy, “Kalau memang itu ucapannya para dukun, apakah bisa kalian mendatangkan yang semisal Al-Qur’an, satu surah saja atau satu ayat saja?”

Di ayat yang lain, orang-orang kafir Quraisy menganggap Al-Qur’an sebagai ungkapan puitik dari seorang penyair. Berikut ini ayatnya,

بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلاَمٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِئَايَةٍ كَمَآ أُرْسِلَ اْلأَوَّلُونَ

“Bahkan mereka mengatakan, ‘(Al-Qur’an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus terdahulu.’” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 5)

Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa pandangan orang-orang kafir Quraisy terhadap Al-Qur’an ketika itu masih sangat klasik dan sederhana. Inilah yang kemudian mendasari pemikir-pemikir baru dari kalangan Muslim Seperti Hasan Hanafi dan Nashr Hamid Abu Zaid untuk meyakini bahwa makna mukjizat harus dikontekskan dengan kekinian sesuai dengan masyarakat yang menerimanya.

Pada dasarnya kata i’jâz (إعجاز) sendiri  tidak dikenal pada masa Rasulullah saw., Sahabat dan Tabi’in. Kata ini baru populer di akhir abad ke-3 Hijriah dari kalangan Mutakallimin dalam sebuah kitab karya Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi (w. 306 H) dalam kitabnya yang tinggal nama “I’jâz Al-Qur’ân fi Nazhmihi wa Ta’lifihi”.[10] Namun demikian, secara maknawi i’jâz sudah ada sejak malaikat Jibril menyampaikan wahyu surah Al-‘Alaq, ayat 1-5 pada Rasulullah saw. Kala itu, tidak hanya Rasulullah saw. dan para sahabat saja yang mengimani kemukjizatan Al-Qur’an, tetapi juga orang-orang kafir. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).’” (QS. Fushshilat [41]: 26)

 Hanya saja, posisi orang-orang kafir tidak mengimani secara hakiki hanya sebatas percaya bahwa Al-Qur’an mempunyai nilai-nilai i’jâz. Sehingga, mereka tetap berusaha menandingi atau mebuat tandingan untuk Al-Qur’an. seperti yang dijelaskan pada ayat di atas. Al-Qur’an sendiri sudah membuat tantangan secara terbuka kepada mereka seperti yang dijelaskan 2 ayat berikut ini,

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Al-Baqarah [2]: 23)

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ  عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

 Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 88)

Dan, tantangan ini benar-benar berhasil membuat mereka tidak berdaya. Inilah hakikat i’jâz pada masa itu. Bahkan, saking tidak mampunya orang-orang kafir itu mendatangkan yang semisal dan kemudian takut beriman mereka saling berpesan untuk meninggalkan Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan pada surah Fushshilat ayat 26 di atas. Serta ayat berikut ini,

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Dan mereka berkata, (Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.’” (QS. Al-Furqân [25]: 5)

Ketakutan mereka atas pengaruh Al-Qur’an tersebut selanjutnya membuat mereka bernegosiasi dengan Rasulullah saw. untuk mendatang Al-Qur’an yang lain,

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَآءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَآ أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِن تِلْقَآءِ ىنَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah. Katakanlah (Muhammad), Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya  mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku. (QS. Yûnus [10]: 15)

Kiranya, rangkaian dari ayat-ayat di atas telah membuktikan bahwa secara maknawi i’jâz sudah ada sejak masa Rasululla saw. Pada perkembangan selanjutnya, i’jâz al-Qur’ân ini polemik besar setelah kafir Quraisy benar-benar tidak dapat menahan laju pengaruh Al-Qur’an. Namun, mereka tetap saja tidak berusaha menghentikan pengaruh Al-Qur’an terhadap kaumnya. Mereka lantas melakukan agitasi politik dan pencemaran nama baik terhadap Rasulullah saw. dengan menganggapnya orang gila agar kaumnya terprovokasi menolak Al-Qur’an. Mereka juga menyebut bahwa Al-Qur’an tidak lain hanyalah buku dongeng dan cerita-cerita fiktif. Seperti yang dijelaskan Al-Qur’an berikut ini,

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَآءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَذَا إِنْ هَذَآ إِلآَّ أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ

“Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu.’” (QS. Al-Anfâl [8]: 31)

 Kalau dilihat dari sejarahnya yang dipaparkan dalam ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan Al-Qur’an itu muncul lebih karena keangkuhan dan kesombongan orang-orang kafir Quraisy untuk menerima wahyu Al-Qur’an. Inilah yang kemudian memunculkan lahirnya ayat-ayat tantangan atau ayat-ayat tahaddi. Menurut M. Nur Kholis Setiawan, ada 47 surah yang memuat ayat-ayat tahaddi. Semuanya dalam kategori surah Makiyah kecuali 8 surah.[11]

Polemik tentang I’jâz Al-Qur’an

Polemik I’jâz Al-Qur’an ini berlangsung di kalangan ulama bahkan hingga sekarang. Al-Baqilani menyebutkan bahwa banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian tentang aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an.[12] Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) polemik itu mengemuka karena istilah i’jâz sendiri muncul belakangan. Dan, semua polemik itu pada akhirnya berkutat di seputar dua aspek yakni definisi lafzhi dan ma’nawi.[13] Polemik ini terjadi sekitar abad ke-3 Hijriah, yang mana ulama satu dengan yang lain saling mempertahankan ideologi dan keyakinan mereka. Sebab, permasalahan ini menyangkut persoalan kenabian dan lain-lain—tidak sekadar i’jâz.

Di antara ulama yang membahas secara serius mengenai i’jaz adalah Ibn  Qutaibah dengna karyanya “Ta’wil Musykil al-Qur’an”, Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan karyanya, “Maqalat al-Islamiyin”, Al-Jahidz dengan karyanya “Hujâj An-Nubuwwah”, dan Abu Al-Hasan Al-Khayath dengan karyanya “Al-Intishâr”. Ulama tafsir banyak juga yang mengkaji i’jâz, seperti Ath-Thabari dalam “Jâmi’ Al-Bayân, dan Abu ‘Ubaidah dalam “Majâz al-Qur’ân”. Sedangkan dari kalangan ahli bahasa  seperti Al-Farra’ (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), Al-Ahfasy (w.215 H), Az-Zujaj (w. 311H), Abu Ja’far An-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.

Polemik tentang i’jâz al-Qur’ân ini paling keras terjadi di kalangan Mutakallimin. Terutama, dari kalangan Mu’tazilah. Seperti, Al-Ja’d bin Dirham yang sangat keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya. Bahkan, secara terbuka al-Ja’d bi Dirham mengingkari Al-Qur’an dan menolak beberapa kandungannya.[14] Menurutnya, keindahan sastrawi dalam Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah i’jâz karena sebenarnya manusia mampu membuat yang semisal itu, bahkan lebih indah dari Al-Qur’an sendiri. Menurut Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham, seorang pengikut paham Mu’tazilah, i’jâz al-Qur’ân sebenarnya bukan faktor internal Al-Qur’an, melainkan faktor eksternal Al-Qur’an. Artinya, kehendak Allah swt. untuk membuat orang-orang kafir lemah dan tidak berdaya membuat yang semisal Al-Qur’an, itulah yang sesungguhnya mukjizat. Ini yang kemudian diistilahkan ulama dengan ashsharfah yakni Allah swt. menghilangkan dan mencabut pengetahuan manusia sehingga tidak mampu membuat yang semisal Al-Qur’an. Meskipun mereka itu ahli bahasa dan sastra, tetap tidak akan bisa.[15]

Konsep ash-sharfah, seperti yang dipahami pengikut Mu’tazilah, sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional. Sebab, dalam i’jâz ada unsur tantangan (tahaddi) yang tentunya menuntut adanya kemampuan manusia (al-qudrah al-basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’âradhah). Logikanya, ketika Al-Qur’an menantang manusia untuk membuat yang semisalnya, ia benar-benar menuntut manusia untuk melakukan itu. Hanya saja, mereka tidak mampu melakukan perlawanan dengan membuat semisal Al-Qur’an. Berikut ini ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut:

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ  عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 88)

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur’an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Yûnus [10]: 38)

أَمْ يَقُوْلُوْنَ اْفتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ

 Bahkan mereka mengatakan, Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur’an itu. Katakanlah, (Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. Hûd [11]: 13)

 فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِ إِن كَانُوا صَادِقِينَ

“Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thûr [52]: 34)

 فَإِن لَمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 24)

Ayat-ayat di atas, semuanya berisi tentang tantangan Allah swt. pada orang-orang kafir untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an jika mereka menganggapnya ucapan manusia. Dan, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal Al-Qur’an menunjukkan kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah kalâmullâh, bukan “karya” Rasulullah saw. Jika benar merupakan hasil karyanya, tentu dengan kemampuan bahasa dan sastra yang dimilikinya, orang Arab bisa membuat bahkan bisa jadi lebih indah dengan “karya” Rasulullah saw. sendiri. Tetapi, kenyataannya mereka tidak mampu.  Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak mampu membuat semisal Al-Qur’an karena pengetahuan dan keterampilannya dicabut dan dihilangkan oleh Allah (ash-sharfah).[16]

Sejak munculnya paham Mu’tazilah tentang Al-Qur’an pada awal abad ke-3 hijriah, diskursus i’jâz Al-Qur’an tersebut pada gilirannya melahirkan karya-karya tulis yang secara spesifik membicarakan i’jâz al-Qur’ân. Al-Jahizh (w. 255 H) menulis kitab Nazh Al-Qur’an, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi (w. 306 H) dengan kitabnya i’jâz al-Qur’ân, yang kemudian oleh Al-Jurjani kitab tersebut disyarahi dengan nama Al-Mu’tadhad”. Selanjutnya, Abu ‘Isa Ar-Rummani (w. 382 H), disusul Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (w. 403 H) menulis kitab I’jâz Al-Qur’ân, sebuah kitab yang mengulas tentang i’jâz al-Qur’ân secara panjang lebar, dan Abu Bakr Abdulqahir bin ‘Abdurrahman Al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitabnya Dalâ’il Al-I’jâz. Tokoh lain yang juga menulis tentang i’jâz al-Qur’ân adalah Abu Sulaiman Hamd ibn Muhammad ibn Ibrahim Al-Khaththabi (w. 388 H), Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Ibn Abi Al-Ishbi’ (w. 654 H) dan Az-Zamlakani (w. 727 H).

Sedangkan, karya tulis tentang i’jâz al-Qur’ân di masa modern, di antaranya Mushtafa Shadiq Ar-Rafi’i dengan bukunya “I’jâz Al-Qur’ân wa Al-Balâghah An-Nabawiyyah”, Muhammad Abu Zahrah menulis “Al-Qur’an Al-Mu’jizât Al-Kubrâ”, kemudian Muhammad Karim Al-Kawwaz dengan “Al-Uslub fi Al-I’jâz Al-Balâghi li Al-Qur’ân Al-Karîm”, lalu ‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan “Al-I’jâz Al-Bayâni li Al-Qur’ân al-Karîm, selanjutnya Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah dengan bukunya “Al-Qur’ân Yatahadda”, dan Zaglul An-Najjâr dengan bukunya “Qâdhiyyah Al-I’jâz Al-‘Ilmi”, dan masih banyak karya tulis lainnya.

 Aspek-aspek I’jâz Al-Qur’ân

Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar (al-mu’jizah al-kubrâ) bagi Nabi Muhammad saw., sebagai bukti kebenaran risalahnya dan menunjukkan bahwa Al-Qur’an datang dari Allah swt. Dalam koteks ini, aspek-aspek i’jâz al-Qur’ân merupakan  alat bukti terhadap kemukjizatan Al-Qur’an tersebut, sebab aspek-aspek i’jâz Al-Qur’ân adalah semua yang terkandung dalam Al-Qur’an yang membuktikan kebenaran bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.[17]

Oleh karena itu, tidak ada kajian yang begitu intensif hingga menyibukkan banyak ulama dari satu generasi ke genarasi berikutnya seperti kajiannya tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an tersebut.[18] Namun para ulama berbeda pendapat tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H), misalnya, berpendapat bahwa aspek I’jaz Al-Qur’an ada empat, (1). Keindahan susunan, , (2) Bentuk susunan dan gaya bahasa yang indah yang berbeda dengan lazimnya, (3) Memuat informasi prediktif yang belum terjadi, (4) Memuat informasi yang jauh telah lalu terjadi. Sementara Al-Qurthubi (w. 684), menyebutkan ada sepuluh aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an dengan menambahkan aspek: (1) terpenuhinya janji-janji yang disebutkan Al-Qur’an, (2) memuat informasi ilmu pengetahuan syariah dan lainya. (3) memuat hikmah-hikmah yang agung, (4) adanya kesesuaian (tanasub) kandungan isi Al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, (5) memuat informasi hal-hal yang bersifat metafisik.

Sementara itu, aspek I’jaz Al-Qur’an dalam pandangan sarjana modern dikatagorikan dalam enam, yaitu: (1) Al-Qur’an adalah teks sastra yang tinggi, (2) I’jaz dalam aspek nagham Al-Qur’an, (3) kitab yang tak terkalahkan dan tidak tertandingi oleh siapa pun, (4). Al-Qur’an memiliki nilai spiritual yang dapat memberikan sentuhan jiwa kepada manusia, (5) I’jaz Al-Qur’an dari sisi jumlah kalimat dalam Al-Qur’an.[19]

Jika dianalisis pendapat tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an maka dapat disimpulkan dalam dua hal: [20]

  1. I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan manhaj bayani, yakni i’jaz yang berkaitan dengan keindahan bahasa dan sastra, serta makna dan kandungan Al-Qur’an.
  2. I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan informasi tentang sejarah dan informasi yang bersifat prediktif, maupun ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik maupun lainnya.

Berbeda halnya dengan Imam Al-Qurthubi yang menyebutkan bahwa aspek kemukjizatan Al-Qur’an ada 10 yaitu:

  1. Nazhm Al-Badî’ atau susunan bahasa yang indah dan berbeda dengan susunan umum yang digunakan masyarakat Arab ketika itu.
  2. Al-Uslûb atau diksi yang digunakan berbeda dengan diksi-diksi dalam bahasa Arab.
  3. Al-Jazâlah atau al-fashâhah.
  4. At-Tasharruf fi lisân al-‘arab.
  5. Kabar tentang penciptaan dunia.
  6. Al-wafâ’ bi al-wa’di.
  7. Mengabarkan perihal gaib.
  8. Memuat berbagai ilmu yang dibutuhkan makhluk.
  9. Hukum-hukum yang detail dan komprehensif yang tidak mungkin bisa dibuat oleh manusia.
  10. At-Tanâsub.[21]

Penutup

Jika ada kesalahan dalam makalah ini mohon dimaklumi dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Jika ada kelebihannya, itu semua tidak lain datangnya dari Allah swt. Terakhir, semoga guru kita dan keluarganya yang mengajarkan ilmu ini (Dr. Ahmad Fathoni) mendapatkan barakah dalam hidupnya, di dunia dan akhirat serta mendapat ridha dari Allah swt. Amin.

Daftar Pustaka

Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003)

Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)

Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar al-Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th)

Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Halabi, 1370 H)

Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun, 1997)

Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Libanon: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, 1957)

Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th)

Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.)

Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)

Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H)

Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt)

Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-Shadir, 2001)

Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun, 1956)

 

Footnote

[1] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003) Hal. 69.

[2] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 70-71.

[3] Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Hal. 738. Lihat juga, Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar al-Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th), Jil. I. Hal. 81.

[4] Lihat juga, QS. At-Taubah, ayat 2. QS. Al-‘Ankabût, ayat 22 dan QS. Al-Hajj, ayat 51.

[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Halabi, 1370 H), Jil. II, Hal. 311.

[6] Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun, 1997) Jil. I. Hal. 101.

[7] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, Jil. II, Hal. 311.

[8] Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Libanon: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, 1957) Jil. II, Hal. 98.

[9] Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th), Jil. IV. Hal. 182-183.

[10] Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 10.

[11] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005) hal. 99

[12] Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 4-5.

[13] Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H) Hal. 10.

[14] Tercatat ada beberapa bagian dari al-Qur’an yang ditolak al-Ja’d bin Dirham, seperti ayat tentang percakapan antara Allah dengan Nabi Musa. Beberapa pengikutnya bahkan menolak secara berlebihan, seperti pengikut Abd al-Karim bin ‘Ajrad pada akhir tahun 100 H an, mengatakan bahwa surat Yusuf  bukan lah termasuk al-Qur’an, karena itu hanyalah cerita (qishshah) belaka. Bahkan pengikut al-Rafidhah beranggapan bahwa al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi, karena al-Qur’an sudah terjadi perubahan dengan penambahan dan pengurangan di sana sini. Demikian pula yang terjadi dengan sunah telah terjadi perubahan-perubahan. Semua pemahaman tersebut bersumber dari tokoh Mu’tazilah, Hisyam bin al-Hakam. Lihat catatan kaki Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt), hal. 143

[15] Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th.)  hal. 144.

[16] Baca Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, jil. IV. Hal. 184-189.

[17] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-Shadir, 2001). Hal. 126.

[18] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun, 1956) Hal. 78.

[19] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 166-170.

[20] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 126-128.

[21] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 75.

HADIS MURSAL

DIPRESENTASIKAN PADA MATA KULIAH ILMU HADIS, ISNTITUTE ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

DOSEN: DR. SYAHABUDDIN

 

A.    Pendahuluan

Ilmu Hadis adalah ilmu yang sangat penting dan bermanfaat bagi umat Islam. Dengannya umat Islam bisa mengetahui hukum halal dan haramnya sesuatu. Di antara hal penting dalam ilmu hadis sendiri adalah periwayatan. Kita yang kebetulan hidup di masa sekarang ini tidak mungkin bisa hadir sebagai saksi atau pelaku utama atas apa yang terjadi puluhan abad yang lalu. Oleh sebab itu, diperlukanlah riwayat dari orang-orang terdahulu yang menjadi saksi kunci atas suatu kejadian.

Inti dari belajar sanad hadis pun begitu, yakni membuktikan kebenaran suatu riwayat. Apakah betul suatu perbuatan atau perkataan itu terjadi di masa Nabi saw. dan diucapkan oleh beliau? Kebenaran terbukti dan diakui jika setiap generasi sepeninggal Nabi saw. ada orang “tepercaya” yang meriwayatkan perbuatan atau perkataan tersebut. Masalahnya, bagaimana jika suatu riwayat yang sampai kepada kita saat ini, tidak diriwayatkan secara runut dan sambung antara generasi ke generasi (Sahabat, Tabi’in, Atba’ Tabi’i dan seterusnya), artinya ada yang terputus? Inilah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.

Di dalam ilmu hadis ada satu istilah yang disebut dengan Hadis Mursal. Mudahnya, ini adalah hadis yang di generasi sahabatnya ada rawi yang dibuang atau tidak disebutkan—tapi, mengenai definisi jelasnya akan dibahas nanti di dalam makalah. Definisi semacam ini berangkat dari penilitian ulama terhadap sanad hadis—terkait ketersambungannya—bukan pada matannya. Dan, kajian sanad ini sangat penting mengingat ia memengaruhi kesahihan dan kedhaifan suatu hadis.

Oleh karena itu, izinkanlah pemakalah menyampaikan beberapa hal terkait dengan Hadis Mursal ini. Pembahasan ini, berkutat seputar definisi Hadis Mursal, contohnya, tingkatannya, karya-karya yang berkaitan dengannya, sebab-sebab munculnya Hadis Mursal, dan kehujahannya beserta diskusi yang berkaitan dengannya. Sebelumnya, mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat kekurangan. Itu tidak lain adalah karena kelemahan penulis. Jika ada hal lain yang bermanfaat maka sesungguhnya itu merupakan anugerah dari Allah swt.

  • B.     Definisi Hadis Mursal

Definisi mursal secara bahasa adalah lepas (at-takhliyah) atau meninggalkan (at-tarku).[1] Dalam sebuah ayat Allah swt. berfirman,

وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu.” (QS. Fâthir [35]: 2)

Adapun keterkaitan arti bahasa di atas dengan makna Hadis Mursal adalah seolah-olah ia (Hadis Mursal) melepaskan sanadnya. Ada juga irsâl yang secara bahasa artinya mutaqaththa’atan (مُتَقَطَّعَةً) atau terputus-putus.[2] Keterputusan itu sendiri memiliki sifat jeda atau jarak antara satu dengan yang lain. Jadi, menurut arti bahasa ini Hadis Mursal adalah hadis yang di dalam sanadnya, antara thabaqah satu dengan thabaqah yang lain tidak bertemu.

Sedangkan, mursal secara istilah atau lebih tepatnya Hadis Mursal adalah,

مَا سَقَطَ مِنْ آخِرِهِ مَنْ بَعْدَ التَّابِعِي[3]أي الحديث الذي حذف منه الصحابي ورفعه تابعي الصحابي إلى المصطفى أي نسبة إليه.[4]

“Hadis yang pada sanad akhirnya ada rawi yang gugur, tepatnya (rawi) setelah tabi’in (yakni sahabat). Atau, hadis yang di dalam sanadnya, rawi sahabat dibuang kemudian Tabi’in (yang thabaqah-nya setelah Sahabat) menisbatkan (hadis) secara langsung pada Al-Mushtafa.”

           Atau lebih mudahnya, Hadis Mursal adalah jika rawi dari kalangan Tabi’in—baik itu Tabi’in Muda (shighâr at-tâbi’în) atau Tabi’in Senior (kibâr at-tâbi’în)—berkata, “Rasulullah saw. bersabda…”. Hadis semacam ini dinamakan dengan Hadis Mursal. Hadis ini tidak lazim karena sebuah hadis itu aturan bakunya harus diriwayatkan dari Sahabat dari Nabi saw., bukan dari Tabi’in langsung dari Nabi saw. Istilah mudahnya, Hadis Mursal ini adalah hadis yang dalam sanadnya, rawi Sahabat “diloncati”.

Tapi, definisi di atas dianggap oleh banyak ahli hadis belum cukup. Sehingga, mereka mengacu pada definisi       berikut ini;

مَا رَفَعَهُ التَّابِعِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوَاءٌ كَانَ ذَلكَ التَّابِعِي مِنْ كِبَارِ التَّابِعِيْنَ أَوْ مِنْ صِغَارِهِمِ[5]

“Hadis yang periwayatannya dinisbatkan langsung oleh Tabi’in pada Rasulullah saw., baik itu dari Tabi’in Muda atau Tabi’in Senior.”

Namun begitu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani masih kurang sreg dengan definisi ini. Terutama pada kata, “at-tabi’î”. Menurutnya, ada orang yang di masa kafirnya pernah mendengar ucapan Nabi saw., kemudian setelah masuk Islam dia meriwayatkan ucapan Nabi saw. tersebut. Seperti Ka’b Al-‘Ubadi atau Ka’b ibn ‘Adi yang sering disebut dengan At-Tanukhi, utusan Raja Herkules. Secara definisi, dia memang masuk kategori Tabi’in, tapi periwayatan hadis darinya yang disandarkan langsung pada Nabi saw. tidak bisa dihukumi irsâl, melainkan ittishâl.

Oleh sebab itu, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani merasa definisi di atas perlu pengecualian karena—sesuai fakta dan pejelasan di atas—tidak semua rawi yang disebut Tabi’in (yang menyandarkan riwayatnya langsung pada Nabi saw.), hadisnya dihukumi mursal. Ada rawi yang masuk kategori Tabi’in yang riwayatnya meski disandarkan secara langsung pada Nabi saw. dihukumi ittshâl seperti riwayat dari At-Tanukhi, misalnya.

Ini merupakan bukti kejelian dan kehati-hatian Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam membuat sebuah definisi. Bagi beliau, jika definisi itu sudah mengesampingkan satu orang atau sesuatu yang sangat jarang maka ia dianggap tidak jâmi’ dan perlu diubah atau minimal dibuat pengecualiannya. Akhirnya, muncullah definisi Hadis Mursal dari beliau yang lebih luas cakupannya yakni,

 مَا أَضَافَهُ التَّابِعِي إِلَى النَّبِيِّ e مِمَّا سَمِعَهُ مِنْ غَيْرِهِ[6]

“Sesuatu yang disandarkan Tabi’in pada Nabi saw. dari riwayat yang (notabene) ia dengar (bukan langsung dari Nabi saw. melainkan) dari orang lain yang (satu thabaqah dengannya).”  

           Inilah definisi Hadis Mursal menurut ulama hadis muta’akhkhirîn. Jadi, sesuai definisi Ibnu Hajar Al-‘Asqalani di atas, apa yang didengar Tabi’in dari Tabi’in lain kemudian diriwayatkan dengan menyandarkan langsung pada Nabi saw. hukumnya mursal. Tapi, kasus ini berbeda jika yang mendengar itu Sahabat dari Sahabat lain, kemudian ia meriwayatkannya dengan menyandarkan langsung pada Nabi saw., maka hadis ini dihukumi muttashil. Riwayat semacam ini sering juga disebut dengan mursal ash-shahabi.

Tapi, ada juga riwayat Sahabat yang—jika ia menyandarkan langsung pada Nabi saw.—hadisnya dihukumi mursal, yakni Sahabat yang melihat Nabi saw. saat ia belum mumayyiz. Kebanyakan Sahabat dalam kategori ini meriwayatkan hadis justru dari Tabi’in Senior. Adapun, Sahabat yang bertemu (adraka) dan mendengar langsung (sami’a) dari Nabi saw. di usia dewasa, kecil kemungkinannya meriwayatkan dari Tabi’in Senior.[7]

Itulah, sedikit polemik tentang definisi Hadis Mursal dan ini terus berkembang. Bahkan, beberapa ahli hadis mutaqaddimîn(ulama yang hidup di abad ke-3 dan beberapa paruh abad ke-4 Hijriah)menyamakan definisi antara Hadis Mursal dan Hadis Munqathi’. Mereka yang menyamakan definisi kedua hadis tersebut adalah Abu Zur’ah Ar-Razi (w. 264 H), Abu Hatim (w. 293 H), dan Ad-Daruquthni (w. 385 H)[8]. Dan, definisi ini lebih sering digunakan oleh fuqahâ’ dan ushuliyûn.[9]

Tapi, penyamaan definisi antara Hadis Mursal dan Hadis Munqathi’ ini tidak hanya menyebar di kalangan mutaqaddimîn saja. Di kalangan muta’khkhirîn juga ada yang menyamakan definisi Hadis Mursal dengan Hadis Munqathi’ seperti Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 436 H). Ia mendefinisikan Hadis Mursal sebagai berikut;

مَا اِنْقَطَعَ إِسْنَادُهُ بِاَنْ يَكُوْنَ فِي رُوَاتِهِ مَنْ لَمْ يَسْمَعْهُ مِمَّنْ فَوْقَهُ[10]

“Hadis yang sanadnya terputus karena ada rawi yang tidak mendengar hadis tersebut dari rawi sebelumnya.”

Setelah itu, ulama muta’khkhirîn yang juga menyamakan definisi antara Hadis Mursal dan Hadis Munqathi’ adalah Imam Al-Baihaqi (w. 458). Imam Al-Baihaqi ini menyamakan antara definisi Hadis Mursal dan Hadis Munqathi’ bukan sebab apa-apa selain karena beliau adalah fanatik terhadap Imam Asy-Syafi’i. Sedangkan, Imam Asy-Syafi’i sendiri sebagai ulama salaf memberikan definisi bahwa hadis yang disandarkan Tabi’in pada Nabi saw. disebut dengan Hadis Munqathi’. Definisi ini memang sudah sesuai dengan kebutuhan zaman saat itu. Namun demikian, istilah mursal sendiri sebenarnya juga muncul dari Imam Asy-Syafi’i. Dialah yang pertama mencetuskan istilah mursal. Tepatnya, ketika beliau menjelaskan Hadis Munqathi’ ini dalam kitabnya, “Ar-Risâlah”. Itu bisa dilihat dari redaksi berikut ini,

فَمَنْ شَاهَدَ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ مِنَ التَّابِعِيْنَ فَحَدَّثَ حَدِيْثًا مُنْقَطِعًا عَنِ النَّبِيِّ، اِعْتَبَرَ عَلَيْهِ بِأُمُوْر،ٍ مِنْهَا أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا أُرْسَلَ مِنَ الْحَدِيْثِ، فَإِنْ شَرَكَهُ فِيْهِ الْحُفَّاظُ الْمَأْمُوْنُوْنَ فَأَسْنَدُوْهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ بِمِثْلِ مَعْنًى مَا رُوِىَ، كَانَتْ هَذِهِ دِلَالَةً عَلَى صِحَّةِ مَنْ قَبْلَ عَنْهُ وَحِفْظِهِ. وَإِنِ انْفَرَدَ بِإِرْسَالِ حَدِيْثٍ لَمْ يُشْرِكْهُ فِيْهِ مَنْ يُسْنِدُهُ… [11]

“Jika ada Tabi’in yang bertemu dengan sahabat Rasulullah saw., kemudian meriwayatkan suatu hadis munqathi’ dari Nabi saw. maka perlu diperhatikan beberapa hal. Di antaranya, mesti dilihat kemursalan hadis tersebut. Jika didalam memursalkannya itu sang rawi (Tabi’in) ditemani oleh rawi-rawi lain (dari Tabi’in)  yang hafizh dan tepercaya kemudian secara berjamaah mereka menyandarkan langsung pada Nabi saw. dengan makna redaksi yang sama dengan yang diriwayatkan sang rawi maka ini menjadi tanda bahwa orang sebelum sang rawi (Sahabat) memang benar mengucapkan itu dan ini menandakan pula bahwa sang rawi ini terjaga hapalannya. Tapi, jika sang rawi (Tabi’in) ini sendirian didalam memursalkan suatu hadis dan tidak ditemani seorang pun rawi lain yang menyandarkan periwayatannya pada Nabi saw….[12]

Inilah hal penting dan merupakan fakta yang harus diketahui, bahwa definisi Hadis Mursal (dan definisi-definisi lainnya) pada hakikatnya tidak stagnan. Ia terus mengalami perkembangan dan pembaruan. Oleh sebab itu, pengambilan definisi Hadis Mursal ini yang paling selamat adalah dari karya ulama muta’akhkhirîn karena mereka sudah menelaah, memberi koreksi, catatan, pengecualian dan penyempurnaan pada definisi-definisi yang disampaikan ulama mutaqaddimîn. Tapi, masalahnya ada orang yang kurang memerhatikan hal ini, apalagi baik karya mutaqaddimîn maupun muta’akhkhirîn sama-sama mudah didapat, ditelaah dan dirujuk.

Fakta di atas juga membuktikan bahwa antara definisi satu dengan definisi lain—dalam Ilmu Hadis—memiliki keterkaitan yang erat. Sehingga, seseorang yang tidak menguasai definisi masing-masing istilah dalam Ilmu Hadis, bisa terjerumus dalam pemahaman yang sempit. Dalam Ilmu Hadis ini, definisi memiliki posisi yang sangat penting. Jika sebuah definisi itu bergeser sedikit saja—dengan mengesampingkan salah satu atau dua faktor—maka bergeser pula kualitas suatu hadis. Dari yang awalnya ittishâl (sambung hingga ke Nabi saw.), bisa berubah menjadi mursal.

Selain ada keterkaitan antara masing-masing definisi, ada juga keterkaitan antara masing-masing istilah dalam Ilmu Hadis. Seperti yang terlihat dalam bagan ini,

Ulama muta’akhkhirin-lah yang dianggap paling berjasa memetakan istilah-istilah dalam Ilmu Hadis ini.[13] Seperti bagan di atas, pada awalnya ulama muta’akhkhirîn menemukan bahwa menurut ulama mutaqaddimîn di antara unsur yang membuat hadis itu dhaif adalah as-saqthu fi ar-râwi. Setelah, ulama muta’akhkhirîn meneliti fakta di “lapangan”, lantas mereka menemukan bahwa model as-saqthu itu ternyata banyak, ada yang zhahîr, ada pula yang khafî. Yang zhahîr ternyata juga macam-macam, ada yang saqth-nyaitu satu rawi, dua rawi berturut-turut dan tidak berturu-turut dan ada pula saqth karena rawinya disamarkan. Yang khafî juga begitu. Jadi, karena banyaknya model as-saqth inilah kemudian ulama muta’akhkhirîn secara kreatif membagi-bagi ke dalam istilah-istilah tersendiri. Pembagian istilah ini juga sangat penting, karena mereka tidak sekadar membagi namun juga nantinya ulama muta’akhkhirîn sekaligus menentukan kehujahan masing-masing hadis yang mereka istilahkan—berdasarkan ketersambungan sanadnya—itu.

Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan, khususnya bagi pelajar hadis untuk memperbanyak bacaan dan referensi dari ulama klasik, baik mutaqaddimîn maupun muta’akhkhirîn. Jika, ia hanya merujuk pada satu referensi saja, ia bisa tergerus arus. Apalagi, hadis sebagai sebuah disiplin ilmu, terus mengalami perkembangan dan sudah dipelajari ribuan atau mungkin jutaan orang, dari generasi ke generasi. Bahkan, orang-orang non-Muslim dari kalangan Orientalis juga ikut-ikutan mempelajari Ilmu Hadis ini. Dengan memperbanyak bacaan dan referensi ulama hadis itu, diharapkan pelajar hadis siap terjun di medan perang pemikiran atau ghazw al-fikri dengan orang-orang yang hendak menghancurkan disiplin ilmu Islam.

 

  • C.    Contoh Hadis Mursal

Adapun contoh Hadis Mursal adalah sebagai berikut;

حدثنا محمد بن المصفى حدثنا بقية عن الوضين بن عطاء عن يزيد بن مرثد المدعي قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اَلْعَنْكَبُوْتُ شَيْطَانٌ فَاقْتُلُوْهُ.

            Hadis Mursal di atas, ada di dalam kitab Al-Marâsil karya Abu Daud. Hadis Mursal ini dhaif karena ibn Al-Mushaffa dan Baqiyyah adalah Rawi Mudallis. Adapun Al-Wadhin adalah rawi yang shadûq sayyi’ al-hifzh.[14] Sedangkan, Yazid ibn Martsad sendiri adalah Tabi’in yang tsiqah, ia memiliki banyak Hadis Mursal. Ini adalah salah satu Hadis Mursal darinya.

D.    Kitab-kitab Hadis Mursal

Karya ulama klasik mengenai kitab Hadis Mursal ini banyak. Dari sekian banyak itu terbagi lagi menjadi dua kategori. Pertama, kategori kitab yang berisi tentang hadis-hadis Mursal. Kedua, kitab yang berisi rawi-rawi dari Tabi’in yang memiliki atau meriwayatkan Hadis Mursal.

a.      Kitab yang Memuat Hadis Mursal

  1. Al-Marâsîl karya Abu Daud.
  2. Tuhfatul Asyrâf (bagian akhir) karya Al-Hafizh Al-Muzzi.
  3. Al-Jâmi’ Al-Kabîr (bagian akhir) karya Al-Imam As-Suyuthi.

b.      Kitab yang Memuat Rawi Hadis Mursal

  1. Al-Marâsîl karya Ibnu Abi Hatim
  2. Bayân Al-Mursal karya Abu Bakr Al-Bardiji
  3. At-Tafshîl li Mubhami Al-Marâsîl karya Al-Khatîb Al-Baghdadi
  4. Juz’ fi Al-Marâsîl karya Dhiya’uddin Al-Maqdisi
  5.  Juz’ fi Al-Marâsîl karya Ibnu ‘Abdilhadi Al-Maqdisi
  6. Jâmi’ At-Tahshîl li Ahkâm Al-Marâsîl karya Al-‘Ala’i
  7. Tuhfatu At-Tahshîl fi Dzikri Ruwati Al-Mursalîn karya Al-Hafizh Al-‘Iraqi

E.     Tingkatan Hadis Mursal

Syamsuddin As-Sakhawi adalah satu-satunya ulama ahli hadis yang membagi Hadis Mursal ke dalam beberapa tingkatan.[15] Pembagian ini, kemudian memudahkan para peneliti hadis untuk mengategorikan Hadis Mursal, sekaligus menentukan kualitasnya. Hanya saja, dalam tingkatan ini As-Sakhawi juga memasukkan hadis Mursal Ash-Shahâbi.[16] Meskipun, mayoritas ulama ahli hadis menyepakati bahwa Hadis Mursal terjadi hanya di thabaqah Tabi’in. Berikut ini pembagiannya:

  1. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Sahabat yang pernah mendengar hadis dari Nabi saw.
  2. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Sahabat yang pernah melihat Nabi saw. tapi belum pernah mendengar hadis dari Nabi saw.
  3. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Al-Mukhadram (pernah bertemu Nabi saw. dalam keadaan kafir, kemudian masuk Islam setelah Nabi saw. wafat)
  4. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang mutqin seperti Ibnu Al-Musayyab.
  5. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang sangat hati-hati dalam memilih guru seperti Asy-Sya’bi dan Mujahid.
  6. Hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in yang gampang menerima riwayat hadis dari siapa saja seperti Al-Hasan Al-Bashri.

Adapun hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Tabi’in Muda seperti Qatadah, Humaid Ath-Thawil dan Az-Zuhri, kemungkinannya sangat kecil bahwa riwayat mereka benar-benar dari Sahabat. Kebanyakan, mereka meriwayatkannya dari Tabi’in Senior. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Hadis Mursal dari Tabi’in Muda sebagai Hadis Munqathi’.

Tapi, tingkatan di atas tidaklah paten. Artinya, dapat mengalami perubahan oleh karena beberapa sebab. Seperti, Hadis Mursal dari Al-Mukhadram belum tentu dan tidak selalu lebih tinggi dari Hadis Mursal yang diriwayatkan oleh Tabi’in yang mutqin. Terkadang, riwayat Hadis Mursal dari Tabi’in mutqin lebih kuat daripada Hadis Mursal yang diriwayatkan Al-Mukhadhram. Semua itu, terjadi karena beberapa sebab:

  1. Rawi yang sering meriwayatkan hadis dari rawi-rawi dhaif, Hadis Mursal yang diriwayatkannya cenderung dhaif.
  2. Rawi yang dikenal memiliki riwayat Hadis Mursal dengan sanad sahih, hadis Mursal yang diriwayatkannya lebih baik dari rawi yang tidak diketahui apakah ia memiliki Hadis Mursal dengan sanad sahih atau tidak.
  3. Rawi yang hapalannya kuat lebih utama karena ia menghapal semua yang ia dengar dan menancap di dalam benaknya.
  4. Seorang rawi yang bergelar Al-Hafizh selalu menyebut nama gurunya yang ia ketahui tsiqah. Tapi, jika ia meriwayatkan suatu Hadis Mursal lantas nama gurunya disamarkan, itu berarti menandakan ada “sesuatu” yang memaksa dia tidak menyebutkan nama gurunya.[17] Hal seperti ini merupakan salah satu tanda yang mengarah adanya unsur kedhaifan dalam riwayatnya.

F.     Sebab-sebab Terjadinya Irsâl

Mengetahui sebab-sebab munculnya Hadis Mursal ini juga penting. Dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya irsâl, kita bisa menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi suatu hadis berikut rawinya. Bukan dalam arti menerima atau menolaknya. Hanya saja, pengetahuan kita pada sosok rawi menjadi lebih komprehensif dan mendalam. Kita menjadi aware atau mudrik terhadap sisi kemanusiaan mereka, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Dan, hal semacam ini tidak bisa kita dapatkan dari ulama-ulama hadis kontemporer. Kalaupun ada ulama hadis kontemporer (apalagi pelajar hadis) yang menyampaikan sebab-sebab baru adanya irsâl, paling itu hanya sebatas mengira-ngira saja. Adapun sebab-sebab tersebut adalah:

  1. Karena rawi Tabi’in yang meriwayatkan Hadis Mursal ini pernah mendengar suatu hadis yang diriwayatkan dari seklompok rawi-rawi yang tsiqah dan menurut dia hadis itu memang sahih. Maka, kemudian dia dengan sengaja meriwayatkan hadis itu—karena tahu hadisnya sahih—secara mursal dari gurunya.[18]
  2. Karena rawi Tabi’in yang meriwayatkan Hadis Mursal ini, lupa siapa yang menyampaikan hadis yang pernah ia dengar. Maka, ia terpaksa meriwayatkannya sendiri secara mursal.[19] Namun, rawi ini memiliki pendirian bahwa ia tidak meriwayatkan suatu hadis kecuali dari orang yang tsiqah. Seperti, Ibnu Al-Musayyab[20] dan Ibrahim An-Nukha’i. Mereka tidak akan meriwayatkan Hadis Mursal kecuali dari rawi yang tsiqah.[21]
  3. Jika seorang rawi Tabi’in tidak sedang meriwayatkan hadis, ia hanya menyampaikan hadis itu dalam rangka mengingat-ingat atau untuk kepentingan fatwa—yang dalam kondisi ini memang rawi tidak dituntut menyampaikan sanadnya—karena memang yang dibutuhkan dan yang penting saat itu adalah matannya.[22]
  4. Jika seorang rawi Tabi’in yakin bahwa ia pernah mendengar suatu hadis yang sahih dari salah satu guru dua guru yang sama-sama tsiqah, tapi sang rawi Tabi’in ini lupa tepatnya dari guru yang mana. Maka, kemudian ia meriwayatkan secara mursal karena tidak tahu pasti dari guru tsiqah yang mana.[23]

Masalahnya, apakah meriwayatkan Hadis Mursal dengan sengaja itu diperbolehkan? Jawabannya, boleh. Dengan syarat, sang rawi yang meriwayatkan Hadis Mursal itu tahu bahwa gurunya adalah ‘adil, baik menurut dirinya atau menurut rawi-rawi lain.[24]

G.    Kehujahan Hadis Mursal

Mengenai kehujahan Hadis Mursal ini ada 3 pendapat, yakni madzhab yang menerima Hadis Mursal, madzhab yang menolak Hadis Mursal dan madzhab yang menerima dan menolak Hadis Mursal dengan syarat. Berikut ini penjelasannya secara sekilas:

G.1. Madzhab yang Menerima Hadis Mursal

Madzhab yang menerima Hadis Mursal ini masih terbagi ke dalam lima pendapat yang berbeda yakni;

a)      Menerima secara mutlak Hadis Mursal dari Tabi’in dan generasi-generasi setelahnya. Mereka ulama muta’akhkhirin dari madzhab Hanafiah. Pendapat ini dinilai berlebihan oleh banyak ulama dan dianggap batil.[25]

b)      Menerima Hadis Mursal dari Tabi’in dan Atba’ At-Tabi’in kecuali (Hadis Mursal) yang diketahui berasal dari rawi yang tidak tsiqah maka tidak diterima. Ini adalah pendapatnya Isa ibn Iban, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Bazdawi, dan Al-Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki.[26]

c)      Menerima Hadis Mursal dari Tabi’in saja dengan tingkatan yang berbeda-beda berdasarkan kualitas Tabi’in tersebut. Ini adalah pendapat Imam Malik beserta mayoritas pengikutnya dan Ahmad ibn Hanbal.[27]

d)     Menerima Hadis Mursal dari Tabi’in Senior saja dan tidak menerima dari Tabi’in Muda yang notabene sangat sedikit yang meriwayatkan hadis dari Sahabat. Ini adalah pendapat Ibn ‘Abdilbarr.[28]

e)      Ibnu Jarir Ah-Thabari, Abu Al-Faraj Al-Maliki dan Abu Bakar Al-Abhari, berpendapat bahwa Hadis Mursal dan Hadis Musnad tidak ada bedanya, sama-sama diterima sebagai hujah. Bahkan, mereka berpendapat jika ada dua hadis yang bertentangan yakni antara Hadis Mursal dan Hadis Musnad maka tidak ada tarjîh. Ini bertentangan dengan mayoritas pengikut Imam Malik dan para peneliti dari Madzhab Hanafi seperti Abu Ja’far At-Thahawi yang mendahulukan Hadis Musnad daripada Hadis Mursal. Sedangkan, ulama ahli hadis tetap melihat keterputusan sanad sebagai illat dalam hadis yang membuatnya tidak wajib diamalkan.[29] Adapun mayoritas pengikut madzhab Syafi’iah berpegang pada pendapat Ibn Abi Hatim, “Hadis-hadis Mursal tidak bisa dijadikan hujah kecuali didukung oleh sanad-sanad lain yang sahih dan muttashil.”[30]

Jumhur berpendapat berpendapat bahwa pada dasarnya illat-nya Hadis Mursal adalah jahâlatu ar-râwi atau tidak diketahuinya identitas sang rawi. Padahal, jahâlatu ar-râwi ini dianggap sebagai illat jika khawatir sang rawi yang tidak diketahui identitasnya itu adalah sosok yang tidak adil. Tapi, jika rawi yang tidak diketahui identitasnya itu adalah Sahabat, apakah masih ada kekhawatiran ia sosok yang tidak adil? Bukankah kekhawatiran itu bertentangan dengan kaidah yang disepakati ulama bahwa semua sahabat itu adil (kullu shahâbiyin ‘udûl).[31] Ini khusus untuk kasus ketika seorang sahabat memursalkan hadis yang tidak pernah ia dengar dari Nabi saw. Makanya ada kaidah, jika seorang Sahabat memursalkan hadis yang tidak pernah ia dengar dari Nabi saw. maka kemungkinan besar ia mendengarnya dari Sahabat lain. Al-Barra’ berkata,

ليس كلنا سمع حديث رسول الله e، كانت لنا ضيعة وأشغال، وكان الناس لم يكونوا يكذبون يومئذ فيحدث الشاهد الغائب[32]

“Tidak semua dari kita (Sahabat) ini mendengar langsung dari Rasulullah saw. Ketika itu di antara kita ada yang jarang bertemu (Nabi saw.) dan sibuk. Tapi, semua orang saat itu tidak ada yang berbohong maka (untuk mudahnya) yang hadir (di hadapan Nabi saw.) menyampaikan pada yang tidak hadir.”

            Anas bin Malik juga berkata,

ليس كلَّ ما نحدثكم عن رسول الله e سمعناه منه، ولكن حدثنا أصحابنا ونحن قوم لا يكذب بعضهم بعضاً[33]

“Tidak semua hadis yang kami sampaikan pada kalian dari Rasulullah saw. itu kami dengar langsung dari beliau. Tapi, sahabat-sahabat kamilah yang menyampaikannya pada kami. Dan, kami adalah kaum yang tidak berbohong satu sama lain.”

Tapi, ada kasus beberapa hadis telah diriwayatkan dan tersebar di kalangan Tabi’in Senior. Lalu, Sahabat Muda meriwayatkan hadis tersebut dari Tabi’in Senior itu. Kasus ini membuka kemungkinan bahwa kemursalan hadis itu bukan hanya karena rawi Sahabat yang tidak diketahui identitasnya, tapi bisa juga rawi dari kalangan Tabi’in yang notabene tidak dijamin keadilannya. Tapi, kasus semacam ini sangat sedikit.[34]

Dalil Penerimaan Hadis Mursal

a)      Surah At-Taubah, Ayat 122:

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [9]: 122)

Wajhu Ad-Dilâlah

Ayat di atas menunjukkan bahwa jika sekelompok orang kembali pada kaumnya kemudian mengingatkan mereka tentang apa yang diucapkan Nabi saw. maka peringatan itu wajib diterima dengan lapang dada tanpa harus mengkritisi apakah hadis itu musnad atau mursal. Dan, ayat di atas tidak membedakan secara tegas antara apakah peringatan mereka itu disandarkan pada Nabi saw. atau tidak.

b)     Surah Al-Baqarah, Ayat 159:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآ أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ

“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat,” (QS. Al-Baqarah [2]: 159)

Wajhu Ad-Dilâlah

Ayat di atas menunjukkan bahwa at-tablîgh penyampaian risalah atau ajaran hukumnya wajib. Sehingga, seorang rawi yang tsiqah jika berkata, “Rasulullah saw. bersabda…” maka itu sudah clear atau jelas dan dia sudah meninggalkan sikap menyembunyikan ilmu. Dan, informasinya harus kita terima tanpa membedakan antara apakah itu musnad atau mursal.

c)      Surah Al-Hujurat, Ayat 6:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 6)

Wajhu Ad-Dilâlah

Ayat di atas memerintahkan pada kita untuk tabayyun terhadap informasi yang datang dari orang yang fasik, bukan orang yang adil dan tsiqah. Artinya, jika informasi itu datang dari orang yang adil dan tsiqah wajib kita menerimanya baik itu musnad atau mursal.

d)     Hadis Nabi saw.

Rasulullah saw. bersabda,

بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ آيَة

“Sampaikan dariku meski itu hanya satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)

Rasulullah saw. bersabda,

لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ

“Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikannya pada yang tidak hadir.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis-hadis di atas merupakan anjuran untuk menyampaikan hadis dari Nabi saw., tanpa harus dibedakan antara musnad dan mursal.

e)      Kaul Sahabat

اَلْمُسْلِمُوْنَ عُدُوْلٌ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا مَجْلُوْداً فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّباً عَلَيْهِ شَهَادَة زُوْرٍ أَوْ ظَنِيْناً فِي وَلَاءٍ أَوْ قَرَابَةٍ

Ungkapan Umar ibn Al-Khaththab inilah yang dijadikan dasar, khususnya ulama ushul bahwa Hadis Mursal dari Tabi’in dan Atba’ Tabi’in itu diterima. Sebagaimna disebutkan dalam kitab Al-Fushûl fi Al-Ushûl karya Ahmad ibn Ali Ar-Razi Al-Jashshash.[35]

 f)       Ijma’

Menurut mereka, model irsâl dalam periwayatan hadis ini sudah muncul sejak masa Sahabat dan Tabi’in tanpa ada yang mengingkari atau menentangnya. Di antara Sahabat Muda, ada yang meriwayatkan banyak sekali hadis dari Nabi saw. dan diterima begitu saja oleh Tabi’in meskipun Tabi’in tahu bahwa di antara hadis yang diriwayatkan mereka itu tidak didengar secara langsung dari Nabi saw. Seperti riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, An-Nu’man ibn Basyir dan lainnya.[36]

Hanya saja, belakangan muncul penelitian-penelitian baru yang berasal dari Barat untuk membuat keraguan di hati kaum Muslimin. Apalagi, mereka menyodorkan data-data yang masuk akal. Padahal, kondisi semacam itu tidak bisa cukup dinilai dengan penelitian terkini. Sebab, untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya orang harus menjadi pelaku sejarah itu sendiri. Penerimaan Tabi’in terhadap riwayat hadis dari Sahabat Muda pada hakikatnya adalah bukti bahwa penilian hadis berdasarkan ketersambungan sanad tidak sejeli masa kini. Di masa kini, sanad dilihat dari kecurigaan, sedangkan di masa Sahabat dan Tabi’in sanad diterima dengan keimanan. Artinya, sudut pandang orang-orang sekarang dengan generasi terdahulu terhadap sanad itu berbeda jauh. Sehingga definisi irsâl yang berkembang saat ini melebihi fakta yang terjadi di masa Sahabat dan Tabi’in. Di kalangan Tabi’in Hadis Mursal menyebar ke mana-mana tanpa ada yang mempermasalahkan untuk diamalkan.[37] Hanya saja, setelah masa Tabi’in diketahuilah beberapa Tabi’in ternyata ada yang meriwayatkan hadis dari bukan Sahabat yang tidak memiliki shuhbah.[38]

Imam Abu Daud dalam kitabnya Ar-Risâlah ila Ahli Makkah berkata,

وأما المراسيل فقد كان يحتج به العلماء فيما مضى، مثل سفيان الثوري ومالك بن أنس، والأوزاعي حتى جاء الشافعي فتكلم فيها وتابعه على ذلك أحمد بن حنبل وغيره

“Adapun Hadis Mursal-Hadis Mursal maka dahulunya dijadikan hujah oleh ulama generasi awal, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik ibn Anas dan Al-Auza’i. Hingga kemudian datang Asy-Syafi’i yang kemudian mempermasalahkannya yang kemudian diikuti Ahmad ibn Hanbal dan yang lainnya.”[39]

             Imam Ibn Jarir Ath-Thabari juga berkata,

لَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى الْعَمَلِ بِاْلُمُرْسَلِ وَقَبُوْلِهِ حَتَّى حَدَثَ بَعْدَ الْمِائَتَيْنِ اَلْقَوْلُ بِرَدِّهِ (يشير إلى الإمام الشافعي رضي الله عنه)

“Orang-orang (terdahulu) tetap mengamalkan Hadis Mursal dan menerimanya, hingga setelah abad ke-2 Hijriah muncul pendapat yang menolaknya (maksud dari perkataan Imam Ath-Thabari ini adalah menunjuk pada Imam Asy-Syafi’I ra.).”

Imam Al-Qurthubi menegaskan,

وزعم الطبري أن التابعين بأسرهم أجمعوا على قبول المرسل ولم يأت عنهم انكاره ولا عن أحد الأئمة بعدهم إلى رأس المائتين كأنه يعني أن الشافعي أول من أبى من قبول المرسل.

“Imam Ath-Thabari meyakini bahwa Tabi’in sepakat menerima Hadis Mursal dan ketika itu tidak ada pengingkaran terhadapnya begitu juga imam-imam setelah mereka (Atba’ Tabi’in) hingga awal abad ke-2 Hijriah. Seolah-olah (Ath-Thabari hendak menegaskan) bahwasanya Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang pertama kali abai untuk menerima Hadis Mursal.”[40]

Tapi, kalangan yang menolak Hadis Mursal membahas dalil-dalil dan hujah di atas. Mereka kemudian memberikan counter dengan berbagai argumen yang masuk akal. Al-Hafizh Al-‘Ala’i dalam kitabnya “Jami’ At-Tahshîl” umpamanya, berpendapat bahwa Hadis Mursal ini masalahnya bukan Sahabat yang disembunyikan saja, tetapi juga terkait jahalah­-nya rawi. Maksudnya, seandainya rawi yang disembunyikan ini tidak diketahui identitasnya bagaimana mungkin orang bisa memastikan keadilannya? Keadilan seorang rawi itu diketahui setelah bisa dipastikan sosoknya. Sedangkan, dalam konteks Hadis Mursal ini, rawinya benar-benar tidak diketahui apakah itu Sahabat atau bukan. Beliau berkata,

لأن فيه جهالة العين والصفة ولأن من لا يعرف عينه كيف تعرف صفته من العدالة؟[41]

“Karena di dalam Hadis Mursal sosok dan sifat rawi tidak diketahui, sedangkan orang yang tidak diketahui sosoknya bagaimana mungkin dapat diketahui kualitas keadilannya?”

             Selanjutnya, tentang berhujah dengan surah Al-Hujurat ayat 6, ini dianggap tidak sesuai dengan konteks. Memang benar bahwa orang yang tidak fasik tidak perlu diragukan kabar berita yang disampaikannya. Tapi masalahnya, lagi-lagi adalah karena sosoknya ini tidak ada. Jadi, bukan masalah kebenaran berita yang dibawanya karena dari orang mukmin melainkan karena sosoknya tidak ada. Adapun hadis yang menyatakan, “Khairu an-nâs qarnî tsumma al-ladzîna yalûnahum…” adalah bersifat umum dalam arti ada orang yang hidup setelah generasi Sahabat yang juga dicap sebagai pribadi yang tidak baik seperti Al-Harits Al-A’war dan ‘Athiyyah ibn Sa’id Al-‘Aufi. Ini membuktikan bahwa pada generasi-generasi mulia (al-qurûn al-fâdhilah) ada beberapa—dalam arti tidak banyak—rawi yang bermasalah seperti Basyir ibn Ka’b sehingga Ibn ‘Abbas tawaqquf dengan Hadis Mursal yang diriwayatkannya. Sedangkan Basyir ibn Ka’b ini orang yang hidup di awal masa Tabi’in. Jika, di masa awal Tabi’in saja ada sosok-sosok yang diragukan keadilannya, apalagi sosok-sosok yang hidup pada generasi setelahnya? Makanya ‘Urwah ibn Az-Zubair berkata,

إني لأسمع الحديث أستحسنه، فما يمنعني من ذكره إلا كراهية أن يسمعه سامع فيقتدي به، وذلك أني اسمعه من الرجل لا أثق به قد حَدَّثَ به عمن أثق به، أو أسمعه من رجل أثق به قد حَدَّثّ به عَمَّنْ لا أثق به فلا أُحَدَّثُ به[42]

“Sungguh, saya telah mendengar hadis yang menurut saya bagus (hasan). Tapi, tidak ada yang membuatku urung mengungkapkannya kecuali khawatir ada orang yang mendengarnya lalu mengikuti. Sebab, di antara hadis itu ada yang sesungguhnya aku mendengarnya dari orang yang tidak aku anggap tsiqah namun meriwayatkannya dari orang yang aku anggap tsiqah. Atau, dari orang yang aku anggap tsiqah meriwayatkan dari orang yang tidak aku anggap tsiqah,maka aku tidak meriwayatkannya.”

Berangkat dari ungkapan ini kemudian Ibn ‘Abdilbarr di dalam kitabnya “At-Tamhîd” mengatakan bahwa berarti pada masa itu (al-qurûn al-fâdhilah) ada rawi tsiqah dan tidak tsiqah yang meriwayatkan hadis. Beliau berkata,

وفي خبر عروة هذا دليل على أن ذلك الزمان كان يحدث فيه الثقة وغير الثقة[43]

“Dari khabar ‘Urwah ini membuktikan bahwa di masa itu ada rawi yang meriwayatkan hadis yang mana derajatnya ada yang tsiqah dan tidak tsiqah.”

 

G.2. Madzhab yang Menolak Hadis Mursal

Madzhab yang menolak Hadis Mursal ini masih terbagi ke dalam tiga pendapat yang berbeda yakni;

  1. Menolak semua Hadis Mursal kecuali Mursal Ash-Shahabi. Ini adalah pendapat jumhur ahli hadis, sebagian ahli fikih dan ahli ushul. Ibnu Shalah berkata,

وما ذكرناه من سقوط الاحتجاج بالمرسل، والحكم بضعفه، هو المذهب الذي استقر عليه آراء جماهير حُفَّاظ الحديث ونُقَّاد الأثر، وقد تداولوه في تصانيفهم[44]

“Pendapat kita tentang tidak sahnya berhujah dengan Hadis Mursal dan menghukuminya sebagai hadis dhaif adalah madzhab yang diputuskan oleh jumhur Huffâzh Al-Hadîts dan para peneliti atsar. Mereka pun telah mendiskusikannya dalam karya-karya mereka.”

  1. Menolak Hadis Mursal secara mutlak, apapun itu meski Mursal Ash-Shahabi. Ini adalah pendapat Abu Ishak Al-Isfira’ dan beberapa orang saja.[45]
  2. Tidak menerima Hadis Mursal kecuali jika dia mendapat persetujuan dari dan diterima oleh ijma’ ulama. Ini adalah pendapat Ibn Hazm.

Dalil Penolakan Hadis Mursal

a)      Surah Al-Isrâ’, ayat 36

وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isrâ’ [17]: 36)

Wajh Ad-Dilalâh

Orang yang menerima berita dari orang yang tidak diketahui identitasnya apakah dia adil atau tidak berarti telah mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.

b)     Hadis Riwayat Ibn Mas’ud

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا، فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغ أوْعَى مِنْ سَامِعٍ (أخرجه الترمذي)

Abdullah ibn Mas’ud berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah swt. akan membuat berseri-seri orang yang mendengar sesuatu dari kita kemudian menyampaikannya kembali (persis) seperti yang ia dengar. (Mengingat) betapa banyak (kasus yang menunjukkan bahwa) orang yang diberitahu lebih teguh dan hapal daripada orang yang mendengar langsung.’” (HR. At-Turmudzi)

c)      Kaul Sahabat

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ e حَدِيْثاً نَفَعَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِيَ بِهِ، وَإِذَا حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اِسْتَحْلَفْتُهُ، فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَقْتُهُ، وَإِنَّهُ حَدَّثَنِي أَبُوْ بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُوْ بَكْرٍ (أخرجه الترمذي)

Ali ibn Abi Thalib berkata, “Jika aku mendengar hadis dari Rasulullah saw. maka Allah akan memberikan manfaat pada kami dengan hadis itu sesuai yang Dia kehendaki. Tapi, jika ada seorang dari sahabat beliau (Rasulullah saw.) menyampaikan suatu hadis padaku maka aku meminta sumpahnya. Jika dia bersumpah padaku (akan kebenaran hadis yang ia sampaikan) maka aku membenarkannya. Dan, sesungguhnya Abu Bakar (sering) menyampaikan hadis padaku, tapi Abu Bakar adalah orang yang jujur.” (HR. At-Turmudzi)

Wajh Ad-Dilalâh

Atsar di atas membuktikan bahwa salaf ash-shâlih dari kalangan Sahabat dan Tabi’in sangat hati-hati dalam menerima kabar atau riwayat. Mereka menelitinya dan bahkan  memperhatikan ketersambungannya.

d)     Ijma’

Semua ulama sepakat bahwa dalam periwayatan dibutuhkan keadilan rawi dan sifat itu harus diketahui. Tapi, bagaimana dengan fakta yang menunjukkan bahwa ternyata ada Tabi’in yang meriwayatkan dari guru yang dhaif dan tidak dhaif? Inilah yang kemudian membuat banyak ulama menolak Hadis Mursal. Sebab, Hadis Mursal yang mereka sampaikan bisa jadi dari guru yang hadisnya tidak boleh diterima. Oleh sebab itu, harus diketahui identitas sang rawi itu. Tapi, kenyataannya orang tidak bisa meneliti hal itu karena sosoknya rawi memang tidak wujud. Ibnu ‘Abdilbarr berkata,

وإنما ذكر في قسم المردود للجهل بحال المحذوف، لأنه يحتمل أن يكون صحابياً، ويحتمل أن يكون تابعياً، وعلى الثاني يحتمل أن يكون ضعيفاً، ويحتمل أن يكون ثقة. وعلى الثاني يحتمل أن يكون حمل عن صحابي، ويحتمل أن يكون حمل عن تابعي آخر[46]

“Adapun sebab (Hadis Mursal) dimasukkan ke dalam bagian hadis yang ditolak adalah karena tidak bisa diketahuinya identitas rawi yang “dibuang”. Sehingga, memungkinkan rawi yang “dibuang” itu adalah Sahabat dan bisa juga Tabi’in. Oleh karena itu, (jika memang dari kalangan Tabi’in), memungkinkan dia itu adalah dhaif atau bisa juga tsiqah. Kemungkinan lainnya, hadis itu diriwayatkan dari Sahabat (ke sahabat) dan bisa juga dari Tabi’in (ke Tabi’in) yang lain.”

             Bahkan di dalam kitab “At-Tamhîd” Ibnu ‘Abdilbarrberkata, “Seandainya Hadis Mursal itu bisa diterima (sebagai hujah), tentu saja riwayat Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan yang lainnya dari Nabi saw. juga bisa diterima. Jika hal itu sudah diperbolehkan maka akan diperbolehkan juga riwayat orang-orang yang hidup setelah mereka (dari Nabi saw.) hingga masa sekarang. Jika sudah begitu, gugurlah hakikat hadis yang sebenarnya.”[47] Di kitab lain, yakni “Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab” Imam An-Nawawi berkata,

ودليلنا في رد المرسل مطلقا انه إذا كانت رواية المجهول المسمى لا تقبل لجهالة حاله فرواية المرسل أولي لان المروى عنه محذوف مجهول العين والحال ثم ان مرادنا بالمرسل هنا ما انقطع اسناده[48]

“Alasan kami menolak Hadis Mursal sudah tidak bisa diganggu gugat. Sebab, kenyataannya, jika suatu hadis itu dalam sanadnya ada orang yang tidak diketahui sosoknya (meski namanya ada) saja tidak diterima dengan alasan tidak bisa diketahui bagaimana sifat sang rawi, maka Hadis Mursal harus lebih ditolak. Alasannya, karena rawi (dalam Hadis Mursal itu) dibuang dan tidak diketahui sosok maupun sifatnya. Adapun maksud Hadis Mursal menurut kami adalah hadis yang sanadnya terputus.”

Selain mereka, Imam Ahmad ibn Hanbal juga tidak menerima Hadis Mursal, bahkan beliau lebih memilih Hadis Mauquf. Berikut ini dalilnya,

أخبرني محمد بن موسى ان إسحاق بن إبراهيم حدثهم قال قلت لأبي عبد الله حديث مرسل عن النبي صلى الله عليه وسلم برجال ثبت احب إليك أو حديث عن بعض الصحابة والتابعين متصل برجال ثبت قال أبو عبد الله عن الصحابة اعجب الي[49]

Muhammad ibn Musa mengabarkan padaku bahwa Ishaq ibn Ibrahim bercerita pada mereka, “Aku pernah betanya pada Abu ‘Abdillah (Ahmad ibn Hanbal), ‘Mana yang Anda sukai, antara Hadis Mursal dari Nabi saw. dengan rawi-rawi yang tsabat atau hadis dari Sahabat dan Tabi’in muttashil dengan rawi-rawi yang tsabat? Abu ‘Abdillah menjawab, “Yang dari Sahabat lebih aku kagumi.”  

             Tapi, jika memang tidak ada lagi dalil yang bisa menjadi hujah, maka Imam Ahmad ibn Hanbal akan menggunakan Hadis Mursal atau hadis dhaif sekalipun. Sebagaimana yang dikabarkan Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “I’lâm Al-Muwaqi’în”.[50] Selain Imam Ahmad, Imam Abu Daud juga menjadikan Hadis Mursal sebagai alternatif terakhir. Beliau berkata,

فإذا لم يكن مسندٌ غير المراسيل ولم يوجد السند فالمرسل يحتج به وليس هو مثل المتصل في القوة[51]

“Jika tidak ada hadis musnad melainkan hadis-hadis mursal yang tidak memiliki sanad, maka Hadis Mursal bisa menjadi hujah. Tapi, tetap saja ia tidak bisa dianggap sekuat hadis muttashil.”

             G.3. Madzhab yang Menerima/Menolak Hadis Mursal dengan Syarat

Madzhab yang menolak atau menerima Hadis Mursal dengan syarat ini terbagi ke dalam lima pendapat yang berbeda yakni;

a)      Jika al-mursil (rawi yang memursalkan) itu diketahui orangnya atau jelas sekali bahwa dia tidak meriwayatkan Hadis Mursal kecuali dari guru yang tsiqah maka riwayat mursalnya diterima. Wa illâ fa lâ. Pendapat inilah yang kemudian dikuatkan oleh Al-‘Ala’i dalam kitabnya, “Jami’ At-Tahshîl”. Pendapat ini merupakan madzhab yang dipilih oleh Yahya ibn Sa’id Al-Qaththan, Ali ibn Al-Madini dan yang lainnya.[52]

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani juga berkata,

لم تزل الأئمة يحتجون بالمرسل إذا تقارب عصر المرسل والمرسل عنه ولم يعرف المرسل بالرواية عن الضعفاء[53]

“Para imam selalu berhujah dengan Hadis Mursal jika masa antara al-mursil (rawi yang memursalkan) dan al-musal ‘anhu (rawi yang riwayatnya dimursalkan) berdekatan. Selain itu, al-mursil tidak diketahui pernah meriwayatkan dari guru-guru yang dhaif.”

 

b)      Seandainya a-mursil itu adalah dari a’immatu an-naqli yang al-marjûh ilaihim fi at-ta’dîl wa tajrîh maka Hadis Mursalnya diterima. Ini adalah pendapat Isa ibn Aban dari madzhab Hanafi, Abu Bakar Ar-Razi, Al-Qadhi ‘Abdul Wahib dari madzhab Maliki dan Abu Walid Al-Baji. Bahkan, Abu Walid Al-Baji menjadikan ini sebagai syarat mutlak untuk menerima Hadis Mursal.[54]

c)      Jika Hadis Mursal itu berasal dari orang yang sahih dalam jarh dan ta’dîl maka itu diterima, baik itu hadisnya musnad atau mursal. Ini adalah pendapat Ibn Burhan dan dia sendirian dalam pendapatnya.[55]

d)     Menerima Hadis Mursal dari Tabi’in Senior dengan ketentuan yang berlaku bagi al-mursal dan al-mursil. Ini adalah pilihan Imam Asy-Syafi’i dan inilah ketentuan yang dipuji oleh Al-Hafizh Ibn Rajab dengan perkataan, “Wahuwa kalam hasanun jiddan”.[56] Berikut ini ketentuannya;

Ketentuan bagi Hadis Mursalnya harus tidak bertentangan dengan salah satu hal berikut:

  1. Harus ada riwayat lain dari rawi yang hâfizh dan tepercaya (huffâzh al-ma’munûn) yang semakna dengan Hadis Mursal tersebut.
  2. Atau ada Hadis Mursal lain yang muwafiq yang diriwayatkan dari rawi selain Hadis Mursal yang dimaksud.
  3. Ada perkataan sebagian sahabat yang sesuai dengan Hadis Mursal tersebut.
  4. Tidak ada tiga syarat di atas, tapi semua ulama sepakat menerimanya.

Ketentuan bagi rawi yang meriwayatkan Hadis Mursal adalah sebagai berikut:

  1. Rawi tidak pernah atau tidak diketahui meriwayatkan hadis dari guru yang tidak diterima riwayatnya sebab majhûl atau majrûh.
  2. Rawi bukanlah termasuk orang yang riwayatnya bertentangan dengan al-huffazh. Jika, ia termasuk orang yang riwayatnya bertentangan dengan al-huffazh maka Hadis Mursalnya tidak diterima.

e)      Menerima semua Hadis Mursal dari Tabi’in, baik Tabi’in Senior maupun Tabi’in Muda dengan berpatokan pada ketentuan yang dibuat Imam Asy-Syafi’i di atas. Ini adalah pendapatnya Al-Khatib Al-Baghdadi dan mayoritas fukaha.

H. Penutup

Jika ada kesalahan dalam makalah ini mohon dimaklumi dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Jika ada kelebihannya, itu semua tidak lain datangnya dari Allah swt. Terakhir, semoga guru kita dan keluarganya yang mengajarkan ilmu ini (Dr. Syahabuddin) mendapatkan barakah dalam hidupnya, di dunia dan akhirat serta mendapat ridha dari Allah swt. Amin.

Wallâhu a’lamu bish shawâb

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Abu ‘Amr Utsman ibn Abdurrahman (Ibnu Shalah), ‘Ulûm Al-Hadîts, (Mesir: Maktabah Al-Farabi, 1984)

Abu Muhammad ibn Abi Hatim, Al-Marâsîl, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1397 H)

Al-‘Ala’i, Abu Sa’id, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, (Beirut: ‘Alam Al-Kutub, 1986)

Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar, (Riyadh: Mathba’ah Safir, 1422 H)

______, Ibnu Hajar, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, (Saudi Arabia: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 1984)

Badruddin ibn Bahadur, An-Nukat ‘Ala muqaddimati ibni Shalah, (Riyadh: Adhwa’ As-Salaf, 1998)

Al-Baghdadi, Abu Bakr Al-Khatib, Târîkh Baghdâd, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t. th.)

______, Abu Bakr Al-Khatib, Al-Kifâyah fi ‘Ilmi Ar-Riwâyah (Madinah: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyah, t. th.)

______, Abu Bakr Al-Khatib, Al-Jâmi’ li Akhlâqi Ar-Râwi, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1403 H)

Al-Jaza’iri, Thahir, Taujîh An-Nazhr Ila Ushûl Al-Atsar, (Halb: Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyah, 1995)

Al-Jashshash, Ahmad ibn Ali Ar-Razi, Al-Fushûl fi Al-Ushûl, (Kuwait: Wuzarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1985)

Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th)

Ibnu ‘Abdilbarr, At-Tamhîd limâ fî Al-Muwaththa’ min Al-Ma’âni wa Al-Masânid, (Madinah: Muassasah Al-Qurthubah, t.th.)

Muhammad Khalaf Salamah, Lisân Al-Muhadditsîn, (Saudi Arabia: Multaqa Ahli Hadits, 2007)

Muhammad ibn Abi Bakr, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqi’în, (Beirut: Dar Al-Jîl, 1973)

Al-Minawi, Abdurrauf, Al-Yawâqît wa Ad-Durar fi Syarh Nukhbati ibn Hajar, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1999)

An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin, Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th.)

Al-Qurthubi, Abu ‘Amr An-Namri, At-Tamhîd lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’âni wa Al-Masânid, (Madinah: Muassasah Al-Qurthubah, t. th.)

As-Sakhawi, Syamsuddin Muhammad, Fath Al-Mughîts Syarh Alfiyati Al-Hadîts, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1403 H)

Sulaiman ibn Al-‘Asy’ats Abu Daud, Risâlah Abi Daud ila Ahli Makkah wa Ghairihim fi Washfi Sunanihi, (Beirut: Dar Al-‘Arabiyah, t.th)

Asy-Syafi’i, Al-Imam Al-Mathlabi Muhammad ibn Idris, Ar-Risâlah, (Mesir: Dar Al-Hadis, 2005)

Zainuddin Abu Al-Faraj, Ibnu Rajab, Syarah ‘Ilal At-Turmudzi, (Madinah: Multaqa Ahl Al-Hadits, t. th.)

 


[1] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th) Jil. XI. Hal. 281.

[2] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, jil. XI. Hal. 281.

[3] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar, (Riyadh: Mathba’ah Safir, 1422 H) Hal. 100.

[4] Abdurrauf Al-Minawi, Al-Yawâqît wa Ad-Durar fi Syarh Nukhbati ibn Hajar, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1999) Jil. I. Hal. 498.

[5] Thahir Al-Jaza’iri, Taujîh An-Nazhr Ila Ushûl Al-Atsar, (Halb: Maktabah Al-Mathbu’at Al-Islamiyah, 1995) Jil. II. Hal. 555.

[6] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, (Saudi Arabia: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, 1984) Jil. II. Hal. 546.

[7] Muhammad Khalaf Salamah, Lisân Al-Muhadditsîn, (Saudi Arabia: Multaqa Ahli Hadits, 2007) Jil. V. Hal. 78.

[8] Dalam usia 80 tahun. Lihat, Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t. th.) Jil. XII. Hal. 39.

[9] Syamsuddin Muhammad As-Sakhawi, Fath Al-Mughîts Syarh Alfiyati Al-Hadîts, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1403 H) Jil. I. Hal. 137.

[10] Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fi ‘Ilmi Ar-Riwâyah (Madinah: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyah, t. th.) Hal. 21.

[11] Al-Imam Al-Mathlabi Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risâlah, (Mesir: Dar Al-Hadis, 2005) Hal. 261.

[12] Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berpendapat bahwa kata irsâl yang digunakan ahli hadis mutaqaddimîn memang mencakup Hadis Munqathi’ dan Hadis Mursal. (Lihat, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu Al-Fikr fî Mushthalâhi Ahli Al-Atsar, [Riyadh: Maktabah Al-Madinah Ar-Raqmiyah, 1422 H] Ha. 65) Mungkin, inilah yang kemudian membuat banyak ahli hadis muta’akhkhirîn menyamakan antara Hadis Munqathi’ dan Hadis Mursal.

12 Hadis yang salah satu rawi dalam sanadnya gugur atau yang gugur lebih dari satu rawi dengan syarat thabaqah-nya tidak berurutan. Lihat, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu Al-Fikr fî Mushthalâhi Ahli Al-Atsar, hal. 102.

13 Yaitu:

ما روى عن التابعى ومن دونه موقوفا عليه من قوله أو فعله

Hadis yang diriwayatkan oleh Tabi’i dan generasi setelahnya secara mauquf, baik itu berupa perkataan atau perbuatan. Lihat, Al-Khatîb Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fî ‘Ilmi Ar-Riwayah, (Maadinah: Maktabah Al-‘Ilmiyah, t.th.) Hal. 22.  

14 Yaitu:

الذي حذف من أول إسناده واحد فأكثر

“Hadis yang dari awal sanadnya dibuang satu rawi atau lebih.” Hadis Mua’llaq ini bisa menjadi sahih jika ada riwayat lain yang menunjukkan bahwa sanadnya muttashil. Lihat, Badruddin ibn Bahadur, An-Nukat ‘Ala muqaddimati ibni Shalah, (Riyadh: Adhwa’ As-Salaf, 1998) Jil. I. Hal. 97.    

15 Yaitu:

ما روي الراوي عمن سمع منه ما لم يسمع منه بالصيغة الموهمة

“Hadis yang diriwayatkan rawi dari seorang guru—yang memang ia pernah mendegar hadis darinya—dengan redaksi seolah mendengar langsung. Padahal (khusus untuk hadis itu) ia tidak pernah mendengarnya secara langung.” Lihat, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar, hal. 41.    

16 Yaitu:

ما روي الراوي عمن عاصره ولم يسمع منه بالصيغة الموهمة

“Hadis yang diriwayatkan rawi dari seorang guru yang semasa dengannya, dengan redaksi seolah mendengar langsung padahal ia tidak pernah mendengar langsung dari sang guru. Lihat, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu al-Fikr fi Mushtalahi Ahli al-Atsar, hal. 41.   

[14] Shadûq sendiri menurut ulama mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn adalah istilah yang disematkan pada rawi yang derajat ke-tsiqah-annya berada di paling bawah. Ia sekelas dengan rawi yang ‘adl dan dhabith, tapi ke­-dhabith-annya lemah. Atau, tsiqah tapi ghairu mutqin artinya tidak menutup kemungkinan ada cacat. Rawi yang shadûq ini, selama riwayatnya tidak bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqah, hadisnya masih bisa dijadikan hujah. Ulama muta’akhkhirîn secara mutlak mengakui periwayatan rawi yang shadûq ini. Tapi, ulama mutaqaddimîn masih pilih-pilih, tergantung pada hasil seleksi dan koreksi (amârât naqdiyah) mereka yang sangat jeli dan teliti dan itu tidak mungkin mampu dikerjakan oleh ulama muta’akhkhirîn. Lihat, Muhammad Khalaf Salamah, Lisân Al-Muhadditsîn,jil. III. Hal. 337-338.   

[15] Syamsuddin As-Sakhawi, Fath Al-Mughîts Syarh Alfiyati Al-Hadîts, jil. I. Hal. 155.

[16] Hadis Mursal Shahabi ini bahkan tidak diterima sebagai hujah oleh Ibnu ‘Abbas, Ibn Az-Zubair, Nu’man ibn Basyir dan beberapa Sahabat Muda lain yang kebanyakan meriwayatkan dari Sahabat Senior karena mereka tidak mendengar hadis secara langsung dari Nabi saw. kecuali beberapa hadis saja. Lihat, Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, (Beirut: ‘Alam Al-Kutub, 1986) Hal. 36.

[17] Ibnu Rajab Al-Hanbali, Syarh ‘Ilal At-Turmudzi li Ibni Rajab, jil. I. Hal. 195.

[18] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. Hal. 555-556.

[19] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. Hal. 555-556.

[20] Dalam kitab Al-Marâsil karya Ibnu Abi Hatim disebutkan begini,

حَدّثَنِيْ أَبِيْ قَالَ سَمِعْتُ يُوْنُسَ بْنِ عَبْدِ الأَعْلَى اَلصَّدَفِي يَقُوْلُ قَالَ لِي مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسِ الشَّافِعِي نَقُوْلُ اَلْأَصْلُ قُرْآنٌ أَوْ سُنَّةٌ فَإِنْ لَمْ يِكُنْ فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا وَإِذَا اتَّصَلَ الْحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَّ الإِسْنَادُ بِهِ فَهُوَ سُنَّةٌ وَلَيْسَ الْمُنْقَطِعُ بِشَيْءٍ مَا عَدَا مُنْقَطِعُ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ أَبُوْ مُحَمَّد ابْنِ أَبِي حَاتِم رَحِمَهُ اللهُ يَعْنِي مَا عَدَا مُنْقَطِعُ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبَ أَنْ يُعْتَبَرَ بِهِ

“Bapakku (Abu Hatim Ar-Razi) pernah mengabariku (Abu Muhammad ibn Abi Hatim), ia berkata, “Aku pernah mendengar Yunus ibn Abdul A’la Ash-Shadafi berkata, ‘Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i pernah berpendapat begini, ‘Menurut saya, sumber utama segala sesuatu itu (ayat) Al-Qur’an atau Sunnah, jika tidak ada (dalil di keduanya) maka dikiaskan pada (dalil yang ada di) keduanya. Dan, jika hadis itu (sanadnya) bersambung hingga Rasulullah saw. dengan sanad yang sahih maka itu dinamakan Sunnah. Jika (sanad di thabaqah Sahabatnya) terputus maka itu tidak masalah, kecuali keterputusan (sanad di thabaqah Sahabat) yang dibuat oleh (Tabi’in) selain Sa’id ibn Al-Musayyab. Abu Muhammad ibn Abi Hatim berkata, ‘Maksudnya, keterputusan (sanad Sahabat) yang dibuat (Tabi’in) selain Sa’id ibn Al-Musayyab mesti dipertimbangkan.’” Lihat, Abu Muhammad ibn Abi Hatim, Al-Marâsîl, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1397 H) Hal. 6.

[21] Tapi, ada catatan untuk Ibrahim An-Nukha’i. Untuk Hadis Mursal yang ia riwayatkan dari Ibnu Mas’ud dianggap ulama dhaif. Begitu juga, riwayat Hadis Mursal yang ia riwayatkan dari Ali ra., Syu’bah menganggapnya dhaif. Sedangkan, Yahya ibnu Ma’in menganggap semua Hadis Mursal riwayat Ibrahim An-Nukha’i sahih kecuali hadis tâjir al-bahrain dan al-qahqahah. Lihat, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. 556.

[22] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. Hal. 555-556.

[23] Muhammad Khalaf Salamah, Lisân Al-Muhadditsîn,jil. II. Hal. 62.    

[24] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. Hal. 557.

[25] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 33.

[26] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 33.

[27] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 34.

[28] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 34.

[29] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 34.

[30] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 36.

[31] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 36.

[32] Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Jâmi’ li Akhlâqi Ar-Râwi, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1403 H) Jil. I. Hal. 117.

[33] Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fi ‘Ilmi Ar-Riwâyah, hal. 386.

[34] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 36.

[35] Ahmad ibn Ali Ar-Razi Al-Jashshash, Al-Fushûl fi Al-Ushûl, (Kuwait: Wuzarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, 1985) Jil. III. Hal. 147.

[36] Hatim Ibn ‘Arif Al-‘Auni, Mabâhits fi Tahrîri Ishtilâhi Al-Hadîts Al-Mursal wa Hujjiyatihi ‘inda As-Sâdât Al-Muhadditsîn, hal. 20.

[37] Hatim Ibn ‘Arif Al-‘Auni, Mabâhits fi Tahrîri Ishtilâhi Al-Hadîts Al-Mursal wa Hujjiyatihi ‘inda As-Sâdât Al-Muhadditsîn, hal. 20.

[38] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 38.

[39] Sulaiman ibn Asy’ats Abu Daud, Risâlah Abi Daud ila Ahli Makkah wa Ghairihim fi Washfi Sunanihi, (Beirut: Dar Al-‘Arabiyah, t.th.) Hal. 24.

[40] Abu ‘Amr An-Namri Al-Qurthubi, At-Tamhîd lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’âni wa Al-Masânid, (Madinah: Muassasah Al-Qurthubah, t. th.) Hal. 4.

[41] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 65.

[42] Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fi ‘Ilmi Ar-Riwâyah, hal. 32.

[43] Ibnu ‘Abdilbarr, At-Tamhîd limâ fî Al-Muwaththa’ min Al-Ma’âni wa Al-Masânid, (Madinah: Muassasah Al-Qurthubah, t.th.) Hal. 39.

[44] Abu ‘Amr Utsman ibn Abdurrahman (Ibnu Shalah), ‘Ulûm Al-Hadîts, (Mesir: Maktabah Al-Farabi, 1984) Hal. 31.

[45] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 36.

[46] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhatu An-Nazhr fi Taudhîhi Nukhbatu Al-Fikr fî Mushthalâhi Ahli Al-Atsar, hal. 101.

[47] Ibnu ‘Abdil Barr, At-Tamhîd limâ fî Al-Muwaththa’ min Al-Ma’âni wa Al-Masânid, hal. 6.

[48] Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th.) Jil. I. Hal. 60.

[49] Abu Bakr Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fi ‘Ilmi Ar-Riwâyah, hal. 393.

[50] Muhammad ibn Abi Bakr, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lâm Al-Muwaqi’în, (Beirut: Dar Al-Jîl, 1973) Jil. I. Hal. 31.

[51] Sulaiman ibn Al-‘Asy’ats Abu Daud, Risâlah Abi Daud ila Ahli Makkah wa Ghairihim fi Washfi Sunanihi, (Beirut: Dar Al-‘Arabiyah, t.th) Hal. 25.

[52] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 38.

[53] Syamsuddin As-Sakhawi, Fath Al-Mughîts Syarh Alfiyati Al-Hadîts, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1403 H) Jil. I. Hal. 140.

[54] Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, An-Nukat ‘ala Kitâb ibni Shalâh, jil. II. Hal. 551.

[55] Abu Sa’id Al-‘Ala’i, Jâmi’ At-Tahshîl fî Ahkâm Al-Marâsil, hal. 92.

[56] Zainuddin Abu Al-Faraj, Ibnu Rajab, Syarah ‘Ilal At-Turmudzi, (Madinah: Multaqa Ahl Al-Hadits, t. th.) Jil. 1. Hal. 56.

SEJARAH BANGSA ARAB

DIPRESENTASIKAN PADA MATA KULIAH ILMU QIRAAT; INSTITUTE ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

DOSEN: DR. KH. AHSIN SAKHO MUHAMMAD

PENDAHULUAN

Sebelum membahas lebih dalam tentang sejarah bangsa Arab, ada hal penting yang perlu kita ketahui yakni tentang terminologi budaya yang mereka gunakan untuk mengelompokkan masyarakat sesuai nasab. Sebagaimana yang kita ketahui, bangsa Arab adalah bangsa yang paling teliti dan paling jelas riwayat nasabnya dibanding bangsa-bangsa lain. Hal itu karena, bangsa Arab sangat menjunjung tinggi darah dan nilai-nilai kesukuan. Bagi sebagian orang mungkin mengetahui pengelompokan nasab bangsa Arab tidaklah penting, tapi bagi yang ingin mengetahui sejarah dan perkembangan bangsa Arab, ini adalah hal yang sangat penting. Bahkan, pohon nasab (syajarah al-ansâb) merupakan pintu utama untuk mengetahui produk-produk budaya dan peradaban bangsa Arab. Jadi, dalam mengkaji bangsa Arab, kita tidak bisa memisahkan antara nasab dan masyarakat. Termasuk ketika kita mengkaji dialek-dialek mereka yang kemudian memengaruhi bacaan Al-Qur’an.

Di Arab, ada istilah khusus untuk setiap kelompok masyarakat berdasarkan nasabnya. Adapun urutannya—berdasarkan nenek moyang teratas mereka—menurut kebanyakan ulama adalah sebagai berikut, syu’b, qabîlah, ‘imârah, bathn, fakhdz, dan terakhir fshîlah. Syu’b adalah nasab terjauh seperti Qahthan dan ‘Adnan. Sedangkan contoh qabîlah adalah Rabi’ah, Iyad dan Mudhar. Quraisy dan Kinanah adalah ‘imârah. Bani Abdu Manaf, Bani Makhzum, Bani Hasyim, Bani Umayyah adalah bathn. Sedangkan, fashîlah adalah Bani Abu Thalib dan Bani Al-‘Abbas. Ini adalah pembagian atau pengelompokan masyarakat Arab berdasarkan nasab yang paling masyhur. Beberapa ulama lain seperti An-Nuwairi menambahkan jidzm dan jumhur sebelum syu’b. Sedangkan, Nisywan ibn Sa’d Al-Humairi menambahkan jail sebelum fashîlah.[1]

Dalam perkembangan sejarahnya, pembagian nasab bangsa Arab menjadi syu’b, qabîlah dan seterusnya ini, memudahkan mereka untuk membagi wilayah kekuasaan. Pembagian nasab seperti itu juga memudahkan mereka dalam mengorganisir massa. Hal itu karena, dengan ikatan darah dan kekeluargaan, individu-individu yang ada dalam qabîlah lebih solid dan setia menjaga persatuan. Semua itu, pada akhirnya menjadi sistem yang efektif bagi mereka untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Bagi pengkaji sendiri, manfaat mengetahui nasab bangsa Arab adalah untuk memudahkan pelacakan sebaran bangsa Arab itu sendiri. Baik itu, penyebaran dalam arti imigrasi ke wilayah lain—mengingat sejarah mencatat bahwa mayoritas bangsa Arab hidup nomaden yakni berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain demi mendapat fasilitas hidup dan keamanan—maupun dalam arti penyebaran keturunan.

Setidaknya, makalah ini dipresentasikan untuk menjawab pertanyaan seperti, “Siapa yang benar-benar bangsa Arab sejati?”, “Dari mana bangsa Arab terbentuk?”, “Bagaimana sejarah dari bahasa mereka?”, “Apakah Mekah kota kelahiran bangsa Arab atau bukan?”, dan lain sebagainya. Berikut ini pemaparannya:

ASAL MULA NAMA ARAB

Nama Arab memiliki keterkaitan dengan nama nenek moyang bangsa Qahthaniah yakni Ya’rub ibn Qahthan. Dia adalah orang yang pertama kali berbicara bahasa Arab dari bangsa Arab Al-Baqiyah.[2] Sebagian pendapat mengatakan bahwa Arab berasal dari kata kerja“yu’rab” yang artinya fasih. Jadi, Arab adalah bangsa yang memiliki lisan fasih. Atau, pendapat lain mengatakan bahwa nama Arab diambil dari nama negeri bangsa tersebut yakni Al-‘Arabat jamak dari ‘Irbah yang maksudnya adalah Mekah.[3] Dan, masih ada beberapa lagi versi lain yang menjelaskan mengenai asal mula nama Arab. Tapi, pendapat pertama itulah yang paling kuat yakni berasal dan nama Ya’rub ibn Qahthan. Ini sangat beralasan, mengingat Ya’rub adalah orang yang pertama berkata atau berbicara dengan bahasa Arab. Sebagaimana yang kita ketahui dalam tradisi Arab, mereka suka menamai sesuatu itu dengan mengaitkan pada orang yang menjadi pencetusnya. Tempat atau wilayah saja, mereka menamakannya dengan orang yang pertama tinggal atau suku yang paling dominan. Yatsrib misalnya, atau Hadhramaut, Yaman, dan Oman, semua itu adalah nama-nama orang yang pertama kali menempati atau membuka (babat) wilayah tersebut. Begitu juga ketika mereka menamai bahasa atau bangsa mereka dengan Arab, itu tidak lain adalah karena nenek moyang mereka bernama Ya’rub ibn Qahthan.

NASAB BANGSA ARAB

Dilihat dari nasabnya ke atas, bangsa Arab terbagi menjadi tiga yakni Arab Al-Baidah, Arab Al-‘Aribah, dan Arab Al-Musta’rabah.[4] Atau, pembagian lain—seperti yang dilakukan Ath-Thabari—menyebutkan bahwa Arab terbagi dua yakni Arab Al-Baidah dan Arab Al-Baqiyah. Selanjutnya, Arab Al-Baqiyah terbagi dua yakni Arab Al-‘Aribah dan Arab Al-Musta’rabah.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa Arab terbagi dua yakni Arab Al-‘Aribah dan Arab Al-Musta’rabah. Dalam pembagian ini, Arab Al-Baidah termasuk Arab Al-‘Aribah. Tapi yang jelas, semua pembagian ini pada hakikatnya adalah sama. Satu sama lain tidak saling bertentangan.

AdapunArab Al-Baidah sendiri adalah ‘Ad, Tsamud, Thasmin, Jadis, Umaima, Jasim, ‘Abil, ‘Abd Dhakm, Jurhum Al-Ula, ‘Amaliq, dan Hadhuran (ash-hâb ar-rass).[6] Semua itu pada akhirnya berinduk pada Iram yakni kaum yang disebut dalam Al-Qur’an, Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,” (QS. Al-Fajr [89]: 6-7). Iram sendiri memiliki banyak anak di antaranya adalah, ‘Ush, Jatsir, Katsir, Ghatsir, Huwil, Hul, dan Masy.[7]

Mereka adalah kaum terdahulu bangsa Arab. Saking tuanya usia kaum-kaum itu hingga ahli sejarah pun susah untuk meneliti dan memaparkan kembali secara utuh. Apalagi, banyak sejarawan menyebut bahwa mereka adalah kaum yang telah lenyap (halâk). Allah swt. juga telah berfirman, Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. (QS. Ibrâhim [14]: 9)

Orang-orang Arab Jahiliah bahkan seringkali menyebut sesuatu yang muncul lebih awal dengan sebutan (عادي) atau âdy. Jika mendapati tradisi atau budaya yang tidak diketahui pencetusnya, mereka menyebutnya (عادية) atau ‘âdiyah. Jika melihat bangunan yang sangat tua, mereka juga akan bilang, binâ’ ‘âdy. Dan, berikut ini penjelasan singkat mengenai masing-masing bangsa Arab tersebut:

  • A.    Arab Al-Baidah
    1. 1.      ‘Ad

Mereka adalah kaum yang lahir darinya seorang nabi bernama Hud as. Allah swt. berfirman,

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS. Al-A’râf [7]: 65)

أَلَا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ أَلَا بُعْدًا لِعَادٍ قَوْمِ هُودٍ

Ingatlah, kaum Ad itu ingkar kepada Tuhan mereka. Sungguh, binasalah kaum Ad, umat Hud itu, (QS. Hûd [11]: 60)

Semua kaum ‘Ad mendapat azab dari Allah dan dibinasakan karena ingkar pada seruan Nabi Hud as. Hanya orang-orang yang beriman pada Hud as. saja yang selamat hingga kemudian melahirkan generasi dan keturunan ‘Ad. Di antara orang-orang yang beriman pada Hud as. adalah Qîl, Nu’aim, Jalhamah, Luqman ibn ‘Ad dan Martsad ibn Sa’d.[8] Mereka kemudian eksodus keluar dari kota Iram menuju Tanah Arab, tepatnya di kota bernama Asy-Syahar. Nabi Hud as. sendiri makamnya ada di Hadhramaut.[9]

2.      Luqman

Beberapa sejarawan berbeda pendapat mengenai sosok Luqman ini. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah Luqman yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Tapi, sejarawan lain mengatakan bahwa Luqman ibn ‘Ad yang dimaksud sebagai Arab Al-Baidah ini bukanlah Luqman yang disebut dalam Al-Qur’an. Menurut Ats-Tsa’alabi, Luqman yang ada dalam Al-Qur’an adalah Luqman ibn Nahur saudara kandung Azar, ayahnya Nabi Ibrahim as.[10] Yang jelas, Luqman ibn ‘Ad ini adalah generasi kedua kaum ‘Ad yang dibinasakan Allah. Artinya, dari Luqman ibn ‘Ad ini kemudian lahir bangsa ‘Ad kedua.

3.  Tsamud

Nama Tsamud ini, sering disebut dalam Al-Qur’an bersamaan dengan nama ‘Ad. Biasanya, ia disebut setelah ‘Ad, tapi ada satu ayat yang menyebutnya lebih dahulu daripada ‘Ad yakni,

كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ

“Kaum Samud, dan Ad telah mendustakan hari Kiamat.” (QS. Al-Hâqqah [69]: 4)

Nasabnya Tsamud adalah Tsamud ibn Jatsir ibn Katsir ibn Iram ibn Sam ibn Nuh as.[11] Mereka ketika itu tinggal di Hijaz, di daerah Daumatu Al-Jandal dan Al-Hijr.[12] Letak Al-Hijr adalah antara Syam dan Hijaz.[13]   

4.      Thasmin dan Jadis

Thasmin ibn Lawadzan ibn Iram adalah kaum yang sulit diungkap dengan jelas oleh sejarawan karena kurangnya referensi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Thasmin sebenarnya tidak ada. Namun, sebagian besar sejarawan sepakat bahwa Thasmin dan Jadis adalah bangsa Arab Al-Baidah yang pernah tinggal di Tanah Arab. Thasmin dan Jadis ini dahulu tinggal di Al-Yamamah.[14]

5.      Umaima

Mereka tinggal di tempat bernama Ardh Ar-Raml, tepatnya antara Asy-Syahar dan Al-Yamamah.[15] Atau, menurut Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Umaima tinggal di Persia dan semua bangsa Persia adalah keturunan Umaima.[16] Umaima dan Thasmin adalah orang-orang terdahulu yang sudah menggunakan bahasa Arab.[17] Begitu juga kaum-kaum lain dari bangsa Arab Al-Baidah. Hanya saja, seperti Arab Al-Baidah lainnya, Umaima ini juga punah karena diterjang badai.[18] Hanya sedikit yang tetap hidup, mereka adalah kaum baru yang kemudian disebut dengan An-Nasnâs.[19]

6.      ‘Abîl

‘Abîl ini, dalam Târîkh Ibn Khaldun disebut sebagai saudara kandung ‘Ad ibn ‘Ush. Mereka tinggal di Juhfah, antara Mekah dan Madinah. Mereka kemudian punah karena tertimpa bencana banjir bandang.[20] Sebelumnya mereka tinggal di Madinah. Tapi, mereka diusir oleh kaum Al-‘Amaliq.[21] ‘Abîl sendiri adalah nenek moyang Yatsrib ibn Faniyah yang kemudian mendirikan kota yang sekarang kita sebut dengan Madinah.[22]

7.      Jurhum Al-Ûlâ

Perlu diketahui bahwa Jurhum Al-Ûlâ ini berbeda dengan Jurhum yang menjadi besan Isma’il as. Jurhum yang menjadi besan Isma’il as. adalah Jurhum Ats-Tsâniyah.[23] Jurhum Al-Ûlâ adalah Arab Al-Baidah yang memiliki nasib sama dengan Arab Al-Baidah yang lain yakni punah dari muka bumi. Mereka hidup di zaman ‘Ad, Tsamud dan ‘Amaliq.

Sedangkan Jurhum Ats-Tsaniyah adalah saudara Ya’rub Al-Qahthani. Ya’rub Al-Qahthani tinggal di Yaman, sedangkan Jurhum Al-Qahthani tinggal di Hijaz.[24] Para sejarawan berpendapat bahwa mereka tinggal di Mekah.[25] Tapi, baik Jurhum Al-Ûlâ maupun Jurhum Ats-Tsaniyah, mereka sama-sama bangsa yang berbahasa Arab.

8.      ‘Amâliq

Ibunya ‘Amaliq bernama Jalhamah Ibnatu Al-Khaibari. Menurut Ath-Thabari, Jalhamah termasuk salah satu dari 70 orang yang beriman pada Hud as. yang eksodus dari ‘Ad sebelum kaumnya ‘Ad ditimpa azab dan halâk.[26]

Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ‘Amaliq ini sama dengan Jurhum yakni terbagi dua, ada ‘Amaliq Al-Ûlâ dan ada ‘Amaliq Ats-Tsaniyah. Amaliq Al-Ûlâ adalah anak dari Jalhamah Ibnatu Al-Khaibari seperti yang dijelaskan Ath-Thabari. Mereka tinggal di tempat yang letaknya antara Kan’an dan Mesir.[27] Dan, istilah ‘Amaliq Al-Ûlâ ini sebenarnya sudah disinggung oleh Al-Hamdani dalam kitabnya, Al-Iklîl.[28] Menurut Ibnu Qutaibah, sebagian dari mereka tinggal di Mekah dan sebagian di Syam.[29]

9.      Hadhuran

Mereka juga disebut dengan Ashhabu Ar-Rass karena tinggal di daerah bernama Ar-Rass. Ada seorang nabi yang diutus pada kaum itu, beliau adalah Syu’aib ibn Dzi Mahra’.[30] Mereka adalah kaum yang membunuh nabi dan tinggal di Yaman.[31]

Itulah biografi singkat Arab Al-Baidah. Mereka adalah bangsa Arab dan berbahasa Arab. Mereka berkali-kali mendapat azab karena kelalaian dan kesesatan yang mereka lakukan. Kebanyakan azab diturunkan kepada mereka adalah karena tidak mentaati seruan nabi-nabi dan menyembah berhala. Seperti namanya al-bâidah atau al-hâlikah yang berarti lenyap. Namun, mereka tidak berarti punah sama sekali. Ada beberapa di antara mereka yang hidup dan kemudian berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Di wilayah barunya itu, mereka kemudian melahirkan generasi baru yang tentunya lebih baik—setelah belajar pada masa lalu mereka. Di wilayah barunya itu juga, di antara mereka ada yang kemudian dominan meski sebagai pendatang dan ada pula yang diusir.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyebaran mereka di Tanah Arab kami menyajikan peta wilayah pendudukan kabilah-kabilah Arab Al-Baidah. Meskipun tidak lengkap, tetapi dengan peta ini setidaknya ada sedikit gambaran kongkret tentang wilayah dan keberadaan mereka di Tanah Arab:

  • B.     Arab Al-‘Aribah atau Al-Qahthaniah

Arab Al-‘Aribah adalah bangsa Arab asli kedua yang berbahasa Arab setelah Arab Al-Baidah yang punah dari muka bumi. Menurut sejarawan mereka bisa berbahasa Arab dari Arab Al-Baidah.[32] Arab Al-‘Aribah pada dasarnya adalah keturunan dari Qahthan ibn ‘Abir ibn Salikh ibn Arfakhsyad ibn Sam ibn Nuh as. Tapi, sebagian orang ada yang menjadikan Qahthan ini sebagai keturunan Ismail as. dan sejarawan tidak membenarkan hal itu. Hanya saja sejarawan memaklumi bahwa itu terjadi karena ingin dianggap bahwa di antara bangsa Qahthan ada yang menjadi nabi.

Di antara keturunan Qahthan ini yang masyhur adalah Ya’rub, Hadhramaut, ‘Amman, dan Jurhum Ats-Tsaniyah.[33] Ya’rub menetap di Yaman, Hadhramaut tinggal di tempat yang sekarang bernama Hadhramaut, Amman tinggal di wilayah yang sekarang juga dinamai Amman dan Jurhum Ats-Tsaniyah menetap di Hijaz.[34]

Qabilah Jurhum Ats-Tsaniyah itulah yang kemudian mempersatukan dua bangsa yakni antara Qahthaniyah dan ‘Adnaniyah. Nenek moyang ‘Adnaniyah yang awalnya menggunakan bahasa Ibrani, akhirnya belajar bahasa Arab melalui suku Jurhum Ats-Tsaniyah ini. Peristiwa percampuran dua bangsa itu dimulai ketika Ismail as. tumbuh dewasa dan menikah dengan salah satu putri pemimpin suku Jurhum yakni Ri’lah binti Madhadh ibn ‘Amru Al-Jurhumi. Dari pernikahan keduanya lahir 12 anak yakni Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi’, Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.[35]

C.    Arab Al-Musta’rabah atau Al-‘Adnaniah

Bangsa Arab Al-Musta’rabah adalah keturunan Ismail as. atau sering disebut sebagai ‘Adnaniyah. Mereka adalah bangsa dari keturunan ‘Adnan, Nazar, dan Ma’add. Disebut dengan Al-Musta’rabah karena mereka berafiliasi dengan Arab Al-‘Aribah dengan cara pernikahan.[36] Pernikahan pertama kali yang mereka adakan dengan Arab Al-‘Aribah adalah antara Ismail as. dan Ri’lah binti Madhadh ibn ‘Amru Al-Jurhumi yang kemudian melahirkan 12 anak. Dua anak yang paling populer dan menghasilkan generasi terbanyak adalah Nabit dan Qidar.

Mengenai nasab Arab Al-Musta’rabah ini, sejarawan berbeda pendapat satu sama lain. Bahkan, perbedaan mereka sangat tajam dan banyak. Hingga dalam menyebut nama orang saja, sejarawan berbeda antara satu dengan yang lain. Menariknya, perbedaan semacam ini tidak ada di nasab Qahthaniah. Tapi, sejarawan Arab generasi belakang memaklumi hal tersebut. Mengingat Arab Al-Musta’rabah ini awalnya berbahasa Ibrani—sedangkan Arab Al-‘Aribah memang dari awal adalah nenek moyang bangsa Arab yanag asli—sehingga perbedaan bahasa dalam menyebut nama adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, tetap ada penyebutan nama yang benar.

Untuk menyelesaikan polemik antara sejarawan ini kuncinya adalah yang penting urutan nasab sampai Ma’ad ibn ‘Adnan ini benar. Sebab, sampai di Ma’ad ibn ‘Adnan ini sejarawan tidak berbeda dalam penyebutan nama dan urutan nasabnya. Adapun ‘Adnan ke atas dengan urutan bagaimanapun dan penyebutan nama bagaimanapun, intinya berhenti di Isma’il ibn Ibrahim as. Menurut Ibnu ‘Asakir dan Ibn Sa’d, Nabi saw. sendiri tidak pernah melanjutkan nasabnya melebihi Ma’ad ibn ‘Adnan. Setiap kali sampai di Ma’ad ibn ‘Adnan beliau berhenti dan berkata, “Orang-orang ahli nasab itu banyak yang berbohong (dengan nasab yang mereka buat hingga sampai pada Adam as.[37]) kemudian membaca ayat (yang artinya sebagai) berikut, Serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum) itu.” Lalu, bagaimana kisah terjadinya musta’rabah itu? Berikut ini kisahnya:

C.1. Kisah Lahirnya Arab Al-Musta’rabah 

Nabi Ibrahim awalnya tumbuh dewasa di negeri Irak. Ayahnya adalah seorang pengrajin kayu yang ahli membuat patung yang ketika itu menjadi sesembahan masyarakat di sana. Tapi, meski Ibrahim sering membantu sang ayah mengukir patung-patung sesembahan, ia tidak tertarik untuk menyembahnya. Hingga ketika beranjak dewasa, Nabi Ibrahim menyelinap ke dalamrumah ibadah kaumnya dan menghancurkan semua patung yang ada di dalamnya, kecuali patung yang paling besar. Ketika ia ditanya penduduk negeri tersebut, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 62-63)

Para penyembah berhala itu pun marah mendengar jawaban Ibrahim. Lalu, menghukum Ibrahim dan membakarnya di dalam api unggun yang besar. Tetapi, Allah swt. menjadikan api tersebut dingin dan Dia menyelamatkan Nabi Ibrahim. Setelah itu, Nabi Ibrahim pun pergi menyelamatkan diri ke Palestina bersama istrinya Sarah.

Tidak lama kemudian, Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanannya ke Mesir yang ketika itu diperintah oleh raja-raja Haksus (‘Amaliq). Di antara raja-raja itu ada yang memiliki kebiasaan merampas istri-istri yang cantik setelah terlebih dahulu membunuh suami mereka. Oleh karena itu, Ibrahim as. mengaku pada orang-orang bahwa Sarah adalah saudara perempuannya dan akhirnya ia selamat dari pembunuhan. Tapi, sang raja tetap mengambil Sarah dari Ibrahim. Hingga suatu ketika datanglah pertolongan Allah pada Ibrahim. Sang raja bermimpi bahwa Sarah tiada lain adalah istri Ibrahim. Tidak seperti biasanya, sang raja tiba-tiba menyesali perbuatannya dan mengembalikan Sarah pada Ibrahim. Bahkan, sang raja memberi Ibrahim as. banyak hadiah, termasuk di antara hadiahnya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar.[38]

Sarah yang tak kunjung melahirkan seorang anak, didorong oleh naluri keibuannya akhirnya meminta Ibrahim untuk menggauli Hajar agar mendapatkan seorang anak yang dapat membuatnya bahagia. Dari Hajar lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Tidak lama kemudian Sarah pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ishak.[39]

Ibrahim mencurahkan kasih sayang yang sama pada kedua putranya. Hal ini membuat Sarah marah karena suaminya memperlakukan sama antara anak seorang budak dengan anaknya sebagai wanita merdeka. Sarah mendesak Ibrahim agar membawa Hajar pergi jauh darinya. Maka Ibrahim pergi meninggalkan Palestina menuju Hijaz. Akhirnya, sampailah ia di sebuah lembah dan menetap di sana. Lembah itu tandus dan tidak ditumbuhi tanaman. Lembah itu biasa digunakan kafilah sebagai tempat istirahat dalam perjalanan dagang mereka. Ini seperti penjelasan Imam Ath-Thabari yang berkata, “Dan Allah mewahyukan kepada Ibrahim untuk pergi menuju Mekah. Saat itu, di Mekah tidak ada rumah (sama sekali).”[40] Di sanalah, Ibrahim meninggalkan putranya yakni Ismail dan ibunya, Hajar, dengan membekali mereka sedikit makanan dan minuman. Sedangkan, ia kembali ke Palestina, tempat Sarah dan Ishak tinggal.

Al-Mas’udi berkata, “Ketika Ibrahim meninggalkan putranya, Ismail, dan ibunya, Hajar, di Mekah, ia menyerahkan nasib keduanya pada sang Maha Pencipta. Ia mengikuti petunjuk wahyu dari Allah bahwasanya ia menemukan sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman dan tempat itu adalah tanah tinggi yang berwarna merah. Maka Ibrahim menyuruh Hajar untuk membuat kemah dan menetap di sana bersama Ismail.”[41]

Ketika bekal yang diberikan Ibrahim habis dan tangisan Ismail semakin keras, Hajar khawatir putranya akan mati kehausan dan kelaparan. Ia pun pergi mencari air, berlari antara Shafa dan Marwa sampai 7 kali bolak-balik. Akhirnya, ia kembali melihat kondisi Ismail yang sedang menggerak-gerakkan kakinya di tanah. Tiba-tiba, air memancar dan muncullah sumur Zam-zam.

Imam Ath-Thabari mengatakan bahwa ketika itu, Allah swt. mengutus malaikat Jibril untuk memancarkan sumur tersebut sekaligus memberi kabar gembira pada Hajar bahwa kelak Nabi Ibrahim akan kembali menemui mereka guna membangun Ka’bah. Imam Thabari berkata, “Jibril berkata kepada Hajar, ‘Jangan takut penduduk negeri ini akan kekurangan air. Sebab, sumur ini adalah mata air untuk minum tamu-tamu Allah. Dan, bapak anak ini (Ibrahim) akan datang dan mereka berdua (Ibrahim dan Ismail) akan membangun baitullâh.”[42]

Suatu ketika, kabilah Jurhum Ats-Tsaniyah melintasi lembah tersebut. Mereka heran melihat burung-burung terbang bergerombol di langit, tepat di atas lokasi tersebut. Itu pertanda bahwa di daerah tersebut ada air. Mereka heran karena sering melewati lokasi tersebut dan itu hanya daerah gersang dan tandus. Lalu, kabilah itu melihat lokasi dan mereka bertemu dengan Hajar bersama putranya. Akhirnya, mereka pun minta izin untuk tinggal di dekat sumur tersebut pada Hajar. Hajar pun mengizinkan.[43]

Dari situ, kemudian Nabi Ismail tumbuh dewasa di tengah-tengah kabilah Jurhum Ats-Tsaniyah. Dari mereka ia belajar Bahasa Arab. Al-Mas’udi berkata, “Ketika Hajar mengizinkan kabilah Jurhum (Ats-Tsaniyah) untuk tinggal, mereka lalu menemui anggota keluarga yang masih di belakang dan menceritakan pada mereka bahwa ada sumber air. Anggota keluarga mereka pun menyusul dan tinggal di lembah tersebut tanpa khawatir kekurangan air. Lembah itu, kemudian berubah menjadi daerah yang penuh dengan gairah kehidupan dan bersinar karena cahaya kenabian. Lokasi itu, kini adalah baitullâh al-haram. Di sana, Nabi Ismail tumbuh dewasa dan berbicara dengan bahasa Arab, bahasa yang berbeda dengan bahasa bapaknya (Ibrani).”[44] Dari sinilah generasi Arab Al-Musta’rabah bermula. Mereka adalah keturunan Ismail as. ke bawah, termasuk di antaranya adalah Nabi Muhammad saw.

Meskipun Arab Al-Musta’rabah ini bukan Arab sejati, namun dari Ismail as. inilah bahasa Arab yang fasih bermula.[45] Itu artinya, bahasa Arab dari Arab Qahthaniah belum mapan, baru kemudian disempurnakan oleh bangsa ‘Adnaniah. Mereka (Qahthaniah dan ‘Adnaniah) dua bangsa yang menjadi pionir kelahiran bangsa Arab yang saling menyempurnakan. Meski satunya asli dan satunya campuran, tetapi keduanya adalah induk bangsa Arab masa kini.

Selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman terhadap nasab-nasab bangsa Arab di atas, berikut kami sajikan bagan-bagan pohon nasab. Mulai dari pohon nasab Al-Qahthaniah, ‘Adnaninah dan Quraisy:

Pohon Nasab Qahthaniah

Image

Pohon Nasab ‘Adnaniah

Image

 Pohon Nasab Quraisy

Image

NEGERI-NEGERI ARAB

Berdasarkan wilayah kekuasaan Arab terbagi menjadi tiga bagian yakni Arab As-Sa’idah (Arabia Felix), Arab Al-Hijriah (Arabia Petreae) dan Arab Ash-Shahrawiah (Arabia Deserta).[46] Ini adalah pembagian Tanah Arab berdasarkan kekuasaan politik yang batas-batasnya berubah-ubah. Meski berubah-ubah, tapi ada batasan yang tetap bahwa Arab As-Sa’idah adalah adalah Saudi Arabia, Yaman, Oman, Qatar dan Emirat Arab. Sedangkan, Arab Ash-Shahrawiyah adalah Irak. Adapun Arab Al-Hijriah adalah Jordan.

Adapun Jazirah Arab sendiri yakni Arab As-Sa’idah terbagi menjadi lima wilayah yaitu Tihamah, Yaman, Al-‘Arudh, Al-Yamamah dan Najd (Qalb Al-Jazirah atau The Hearth of Arabia).[47] Penjelasan mengenai pembagian wilayah ini akan lebih mudah dengan dibantu peta di atas.

SEJARAH BAHASA ARAB

Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya ragam. Bahkan jika dirunut ke belakang, bahasa Arab memiliki hubungan dan percampuran dengan bahasa-bahasa kuno non-Arab. Tapi, hampir semua sejarawan sepakat bahwa bahasa Arab yang ada saat ini, pertama kali diucapkan oleh Ya’rub ibn Faligh ibn Qahthan. Adapun bahasa nenek moyang Ya’rub ibn Faligh ibn Qahthan yakni dari ‘Abir hingga Sam ibn Nuh as. adalah bahasa Siryani—yang mana bahasa ini juga memiliki sejarah dan perkembangan sendiri.

Berabad-abad lamanya sebelum Ismail as. lahir, sebelum ada kota Mekah, bahasa Arab sudah berkembang di Yaman[48]—jika dilihat di peta, Yaman adalah Jazirah Arab bagian selatan. Namun, bahasa Arab sendiri memiliki perkembangan. Dahulu, di awal-awal kemunculannya bahasa Arab masih belum sempurna. Bahasa Arab mulai sempurna justru setelah terjadi percampuran dengan bangsa yang berbahasa Ibrani yakni Ismail ibn Ibrahim as.[49]

Setelah masa Ismail as., bahasa Arab terus mengalami perkembangan dan di sisi lain perbedaan dalam pengucapan dan tata bahasa terus bertambah. Pengucapan orang-orang Arab bagian selatan berbeda dengan berbeda dengan orang-orang Arab bagian barat. Perbedaan bahasa mereka bahkan jauh dari bahasa standar Al-Qur’an.[50] Ketika itu, memang belum ada kesepakatan bersama antara tokoh-tokoh bahasa Arab untuk menciptakan satu kaidah standar bagi bahasa Arab. Bahasa Arab justru menjadi lebih sempurna dan tidak banyak mengalami perubahan setelah Al-Qur’an turun. Bisa dikatakan, Al-Qur’an adalah kitab suci yang menggugah dan menyinergikan bangsa Arab untuk membuat satu kaidah utuh tentang bahasa Arab (bilisânin ‘arabiyim mubîn). Sebelum Al-Qur’an turun, sebelum lahir ilmu Nahwu, bahasa Arab berkembang sendiri-sendiri di setiap wilayah. Hingga menurut Imam Ath-Thabari, saking banyaknya ragam, susah untuk menghitung dialek bahasa Arab.[51] Bahkan setelah bahasa Arab mapan pun masih terjadi perbedaan, namun tidak lepas dari 7 bentuk, pertama, perbedaan lafadz dengan makna sama seperti antara العهنdan الصوف. Kedua, perbedaan huruf seperti التابوتdan التابوه. Ketiga, taqdîm dan ta’khîr dalam kalimat seperti  سلب زيد ثوبه dengan سلب ثوب زيد. Keempat, bertambah atau berkurang huruf seperti فَلا تَكُ . Kelima, perbedaan harakat. Keenam, perbedaan i’rab. Ketujuh, at-tafkhîm dan al-imâlah.[52] Berikut ini bagan yang menggambarkan posisi bahasa Arab di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia:

http://www.google.co.id/imgres?q=%D8%A7%D9%84%D9%84%D8%BA%D8%A7%D8%AA+%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%8A%D8%A9&um=1&hl=id&sa=N&tbo=d&biw=1241&bih=606&tbm=isch&tbnid=LOIGgRIcNq8P0M:&imgrefurl=http://www.meltha.dk/page-2.htm&docid=vXdIDwIA7VobIM&imgurl=http://www.meltha.dk/semitic1.JPG&w=645&h=413&ei=FybcUOLwEMe8rAemlYCYDw&zoom=1&iact=rc&sig=115986640770259294019&page=1&tbnh=146&tbnw=226&start=0&ndsp=19&ved=1t:429,r:4,s:0,i:96&tx=96&ty=71

Dari bagan di atas kita dapat memetik kesimpulan bahwa Arab adalah salah satu dari rumpun bahasa Semit (Samiyah). Bahasa Semit sendiri menurut beberapa sejarawan merupakan cabang dari bahasa Afro-Asiatik. Rumpun bahasa Semit terbagi menjadi 2 yaitu, Lughât Asy-Syarqiyah dan Lughât Al-Gharbiyah. Lughât Asy-Syarqiyah adalah bahasa Akkadia yang terdiri dari bahasa Asyuria dan bahasa Babilonia. Sedangkan Lughât Al-Gharbiyah terbagi menjadi dua yaitu Al-Gharbiyah Asy-Syimaliyah dan Al-Gharbiyah Al-Janubiyah. Al-Gharbiyah Asy-Syimaliyah terbagi lagi menjadi dua yaitu Al-Iramiyah—termasuk di dalamnya bahasa Siryaniyah—dan Al-Kan’aniyah. Sedangkan, Al-Gharbiyah Al-Janubiyah terbagi menjadi dua juga yakni Al-Atsbubiyah dan Al-‘Arabiyah. Di sinilah letak bahasa Arab di antara bahasa-bahasa Semit atau Samiyah.[53]

Selanjutnya, bahasa Arab terbagi menjadi dua yaitu bahasa Arab Selatan dan bahasa Arab Utara. Bahasa Arab Selatan disebut juga bahasa Himyaria yang dipakai di Yaman dan Jazirah Arab Tenggara. Selain Bahasa Himyaria yang termasuk Bahasa Arab Selatan adalah Bahasa Saba’ia, Ma’inia dan Qatbania. Sedangkan bahasa Arab Utara merupakan bahasa wilayah tengah Jazirah Arab dan Timur Laut. Dahulunya mereka menggunakan Bahasa Arab Al-Baidah yang sudah punah dan kini mereka menggunakan bahasa Arab Fushhâ yang hingga kini dan masa-masa yang akan datang tetap dipakai karena Al-Qur’an turun dan menggunakan bahasa ini. Tapi, bahasa Arab Fushhâ sendiri mengalami penyebaran yang demikian luas dengan dialek yang beranega ragam.

Terlepas dari berbagai macam perbedaan pendapat sejarawan mengenai bahasa Arab, yang jelas dia adalah bahasa pertama yang digunakan Adam as. Kemudian, seiring berjalannya waktu, bahasa Arab mengalami perubahan. Perubahan pertama adalah ke bahasa Siryani. Bahkan Al-Mas’udi berpendapat bahwa perbedaan antara bahasa Arab yang digunakan Adam dengan bahasa Siryani sangatlah sedikit.[54]

RUTE DAGANG BANGSA ARAB

Dilihat dari sisi ekonomi, Arab adalah negara yang memiliki letak geografis sangat strategis. Saking, strategisnya Jazirah Arab banyak raja-raja Romawi yang ingin menguasa Arab. Dan, memang sejak zaman kuno Arab adalah pusat perdagangan internasional. Dulu di zaman kaum ‘Ad, rub’ Al-Khali adalah pusat perdagangan di Tanah Arab. Ia ada di tengah-tengah negara-negara besar dengan peradaban maju. Di timur laut ada Persia, di barat laut Romawi dan Mesir, di barat daya, seberang lautan adalah Ethiopia, dan di selatan ada Samudera Hindia.

Sejak zaman dahulu Arab adalah jalur utama perniagaan antara dua kerajaan besar yaitu Romawi dan Persia. Ada dua jalur transportasi darat perniagaan di Jazirah Arab yakni jalur timur—bermula dari Yaman dan berakhir di Irak—dan jalur barat. Orang-orang Persia dan India menggunakan jalur ini. Sesampainya di Irak mereka lantas melanjutkan perjalanan darat melewati Syam menuju Mesir. Sedangkan di jalur barat, pada pedagang akan melewati Hijaz.[55]

Pedagang yang memanfaatkan tanah Arab sebagai jalur transportasi adalah orang-orang dari Etiopia, India dan Persia. Dan, jika kita lihat peta jalur perniagaan di Tanah Arab, seolah banyak sekali lintasan-lintasan, baik dari Persia maupun dari India dan Etiopia. Mereka begitu leluasa menggunakan daratan Arab ini untuk jalur transportasi setelah sebelumnya menyeberangi samudra.

Arab adalah jalur yang memanjakan saudagar-saudagar dunia yang ingin menjajakan dagangannya ke negeri seberang. Namun, tidak berarti kondisi nyaman itu selamanya dinikmati oleh kaum pedagang. Ada saat tertentu, dimana mereka sama sekali tidak bisa memanfaatkan jalur di Tanah Arab, baik yang di barat maupun di timur. Itu tepatnya saat terjadi peperangan besar. Dalam kondisi ini, saudagar lebih banyak yang berhenti berdagang, menunggu peperangan usai.

 PENUTUP

Itulah sekilas tentang sejarah bangsa Arab. Para sejarawan sudah menulis tentang sejarah bangsa Arab dan menghabiskan berjilid-jilid kitab. Bahkan, dengan tumpukan buku mereka, seolah sejarah bangsa Arab belum terbuka sepenuhnya. Masih banyak kisah yang belum terkuak dan peristiwa yang belum kita ketahui. Jadi, bangsa Arab adalah bangsa yang sangat besar dan memiliki sejarah panjang hingga nabi-nabi terdahulu. Itu artinya, tidaklah cukup menjelaskan sejarah bangsa Arab hanya dengan makalah kecil ini. Oleh sebab itu, mohon maaf jika dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik dari materi maupun yang lainnya. Harapan besar pemakalah, semoga tulisan ini bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf Al-Minawi, At-Taisîr Bisyarhi Al-Jâmi’ Ash-Shagîr, (Riyadh: Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, 1988)

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Târîkh Ar-Rusul wa Al-Mulûk, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1960)

______, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, (Kairo: Dar Al-Ma’ârif, t. th)

______, Jâmi’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000)

Al-Baladzuri, Al-Imam Abu Al-Hasan, Ansâb Al-Asyrâf, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996)

Al-Hamdani, Al-Iklîl, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Al-Kharbuthli, Ali Husein, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jail, 2004)

Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, (Kairo: Dar Ar-Raja’, t.th)

______, Akhbâr Az-Zamân, (Beirut: Dar Al-Andalus, 1951)

Al-‘Umari, Ibnu Fadhlilah, Masâlik Al-Abshâr fi Mamâlik Al-Amshâr, (Mesir: Dar al-Kutub, t. th)

Al-Qalqalsyandi, Ahmad ibn ‘Ali, Subh Al-A’sya fi Shina’ati Al-Insya, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1987)

Husein Muannis, Athlas Târîkh Al-Islâm, (Kairo: Az-Zahra for Arab Mass Media, 1987)

Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Ibnu Al-Jauzy, At-Tabshirah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Ibnu Al-Wardi, Târîkh ibn Al-Wardi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1996)

Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnan, 1970)

______, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1988)

Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th)

Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.)

Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, (Mesir: Dar Al-Hadits, 1998)

Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, (Madinah: Dar As-Saqi, 2001)


[1] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, (Madinah: Dar As-Saqi, 2001) Jil. II. Hal. 160.

[2] Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Baladzuri, Ansâb Al-Asyrâf, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996) Jil. I. Hal. 10.

[3] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.) Jil. I. 586-587.

[4] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 296.

[5] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Târîkh Ar-Rusul wa Al-Mulûk, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1960) Jil. I. Hal. 618-626.

[6] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 295.

[7] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 70.

[8] Ibnu Al-Jauzy, At-Tabshirah, Al-Majlis Al-Khamis fi Qishshati ‘Âd. jil. I. Hal. 60.

[9] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 311.

[10] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 316.

[11] Ahmad ibn ‘Ali Al-Qalqalsyandi, Subh Al-A’sya fi Shina’ati Al-Insya, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1987) Jil. I. Hal. 313.

[12] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 326.

[13] Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, jil. I. Hal. 15.

[14] Al-Mas’udi, Akhbâr Az-Zamân, (Beirut: Dar Al-Andalus, 1951) Hal. 104.

[15] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th) Jil. I. Hal. 25.

[16] Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, hal. 6.

[17] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, jil. I. Hal. 25.

[18] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th) Jil. II. Hal. 8.

[19] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, jil. I. Hal. 25.

[20] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 21.

[21] Ibnu Fadhlilah Al-‘Umari, Masâlik Al-Abshâr fi Mamâlik Al-Amshâr, (Mesir: Dar al-Kutub, t. th) Hal. 34.  

[22] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 286.

[23] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 345.

[24] Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar, Bab Mulûk Al-‘Arab Qabla Al-Islam (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnan, 1970) Jil. I. Hal. 46. Lihat juga, Ibnu Al-Wardi, Târîkh ibn Al-Wardi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1996) Jil. I. Hal. 62.

[25] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 345.

[26] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1988) Jil. I. Hal. 145.

[27] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 87.

[28] Al-Hamdani, Al-Iklîl, Bab Banu ‘Amru ibn Hamdan, hal. 2.

[29] Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, hal. 6.

[30] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 347.

[31] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 349.

[32] Muhammad Suhail, Târîkh Al-‘Arab Qabla Al-Islâm, (Beirut: Dar An-Nafa’is, 2009) Hal. 30.

[33] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 9.

[34] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 47.

[35] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 221.

[36] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 26.

[37] Abdurrauf Al-Minawi, At-Taisîr Bisyarhi Al-Jâmi’ Ash-Shagîr, (Riyadh: Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, 1988) Jil. II. Hal. 471.

[38] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jail, 2004) Hal. 32.

[39] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, hal. 32.

[40] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, (Kairo: Dar Al-Ma’ârif, t. th) Jil. I. Hal. 179.

[41] Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, (Kairo: Dar Ar-Raja’, t.th) Jil. I. Hal.  227.

[42] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 181.

[43] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, hal. 34.

[44] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 48.

[45] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, jil. I. Hal. 138.

[46] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 163.

[47] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 167-181.

[48] Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar, Bab Mulûk Al-‘Arab Qabla Al-Islam, jil. I. Hal. 46.

[49] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, jil. I. Hal. 138.

[50] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. XVI. Hal. 197.

[51] Ath-Thabari, Jâmi’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000) Jil. I. Hal. 21.

[52] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. XVI. Hal. 203.

[53] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 225-228.

[54] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 256.

[55] Husein Muannis, Athlas Târîkh Al-Islâm, (Kairo: Az-Zahra for Arab Mass Media, 1987) Hal. 383-392.

BERIMAN PADA MALAIKAT

DIPRESENTASIKAN PADA MATA KULIAH TAFSIR AYAT-AYAT AKIDAH DAN SOSIAL; INSTITUTE ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

DOSEN: PROF. DR. KHUZAEMAH TAHIDO YANGGO

A.    PENDAHULUAN

Percaya adanya malaikat adalah salah satu rukun iman. Rasululullah saw. pernah ditanya seorang lelaki yang memakai pakaian sangat putih (syadîd bayâdh ats-tsiyâb), rambutnya hitam pekat (syadîd sawâdi asy-sya’r), pakaiannya rapi seperti tidak dari perjalanan jauh (lâ yura ‘alaihi atsaru as-safar) dan sahabat tidak tahu dari mana ia datang. Lelaki itu (Jibril as.) tiba-tiba ada di depan Nabi saw. dan bertanya. Salah satu pertanyaannya adalah;

“Beritahu aku, tentang iman?”

“(Iman itu adalah) jika engkau beriman kepada Allah, pada mailaikat-malaikat-Nya, pada kitab-kitab-Nya, pada para rasul-rasul-Nya, pada Hari Akhir, dan pada takdir, baik ataupun buruknya.” Jawab Nabi saw.

“Kamu benar.” Kata lelaki itu.[1]

Jadi, iman kepada malaikat adalah percaya bahwa para malaikat itu ada. Mereka hidup di alam gaib, yang tidak ada satu pun manusia tahu hakikat mereka selain Allah swt. Kita mengetahui mereka dari ayat-ayat dan hadis-hadis saja, selebihnya kita tidak mampu menyingkap kehidupan malaikat yang sebenarnya.

Adapun orang yang tidak percaya keberadaan malaikat, ia terhitung sebagai manusia yang sangat sesat. Sebagaimana yang ditegaskan Allah swt. dalam firman-Nya,

وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh, orang itu telah tersesat sangat jauh.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 136)

Hal itu karena, Allah swt. sudah menyinggung dalam banyak ayat Al-Qur’an mengenai keberadaan malaikat ini. Seperti dalam surah Fathir ayat 1,[2] surah Al-Furqân ayat 22,[3] surah Al-Baqarah ayat 98,[4] surah Saba’ ayat 40-41,[5] dan surah An-Nisâ’ ayat 172.[6]

Tapi, memercayai keberadaan malaikat saja itu belum cukup. Sebab, banyak kaum terdahulu, mungkin juga orang-orang yang hidup di zaman sekarang, yang memercayai adanya malaikat, tapi menyematkan jenis kelamin perempuan pada mereka. Padahal, orang-orang itu tidak pernah tahu proses penciptaan malaikat, bagaimana mungkin mereka menganggap malaikat itu perempuan? Orang-orang seperti ini kelak pada Hari Akhir akan dimintai pertanggungjawaban.

وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 19)

Atau menganggap malaikat sebagai anak Allah. Nau’dzubillâh. Intinya, beriman akan adanya malaikat ini perkara yang sangat penting dalam akidah. Jika kita salah sedikit saja memahami hakikat malaikat tanpa pengetahuan yang pasti dari dalil nas, kita bisa terjerumus dalam kesesatan. Apalagi, yang percaya malaikat tidak hanya Islam, tapi juga agama-agama lain. Artinya, berbahaya sekali jika kemudian kita meyakini hakikat malaikat dari keyakinan agama lain. Mungkin, inilah tugas berat dari penjelasan makalah ini. Hanya saja, penulis belum memiliki kemampuan yang komprehensif untuk menjawab semua pertanyaan tentang hakikat malaikat. Makalah ini adalah secuil dari samudera ilmu tentang iman pada malaikat. Oleh sebab itu, mohon dimaklumi jika dalam bahasannya masih banyak tema atau sub tema yang belum tuntas atau bahkan belum ada dalam makalah ini.

  1. B.     TAFSIR SURAH AL-ISRA’, AYAT 95

قُلْ لَوْ كَانَ فِي الْأَرْضِ مَلَائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولًا 

Katakanlah (Muhammad), “Sekiranya di bumi ada para malaikat, yang berjalan-jalan dengan tenang, niscaya Kami turunkan kepada mereka malaikat dari langit untuk menjadi rasul.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 95)

KOSAKATA

لمَلَكُ        : Aslinya Ma’lak kata bentukan dari alûkah yang artinya ar-risâlah atau pengutusan. Untuk memudahkan ejaan menjadi malak yang bentuk jamaknya adalah malâ’ikah. Ma’lûk artinya adalah yang diutus. Artinya, malaikat hanya sekedar makhluk yang yang diutus Allah, tidak mempunyai otoritas kekuasaan independen. Ia hanya mengerjakan, atau pelaksana sesuatu hal yang menjadi kehendak yang mengutusnya yaitu Allah swt.[7]

Sebagian muhaqiqîmengatakan bahwa asal katanya adalah المِلكُ atau المَلَكُ artinya adalah المُتولِّى yang mengurus atau menguasai. Jika kata tersebut digunakan untuk menyebut malaikat maka kata المَلِكُ digunakan untuk manusia.[8]

TAFSIR

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan ayat ini, “Katakan wahai Muhammad kepada manusia seandainya di muka bumi ini ada malaikat yang berjalan-jalan dengan tenang, pasti Kami (Allah) utus seorang di antara mereka kepada kalian di bumi ini. Malaikat itu hanya dapat dilihat oleh sesama mereka dan orang-orang yang dikhususkan dari kalangan manusia selain itu tidak dapat menjangkaunya (dengan panca indra mereka).”[9] Akan tetapi Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka yakni manusia.

Pengutusan seorang rasul atau nabi dari kalangan manusia merupakan kenikmatan yang amat besar bagi manusia. Sebagaimana Allah katakan dalam Al-Qur’an:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, (QS. Ali ‘Imrân [3]: 164)

Kebutuhan manusia akan hidayah melebihi kebutuhan makan dan minum. Sebab, hidayah itulah yang akan menyelamatkan mereka di dua negeri yaitu dunia dan akhirat. Seorang rasul adalah hidayah atau petunjuk bagi umatnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,[10]

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

 

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab  (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syûrâ [42]: 52)

Kata, “Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus” ini, menunjukkan posisi seorang rasul sebagai penyampai dan penjelas Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya. Ia memotivasi manusia agar mencintai Al-Qur’an dan menjalankan perintah yang ada di dalamnya serta menjauhi apa yang dilarang di dalamnya. Inilah, jalan yang lurus.[11]

Seandainya penduduk bumi ini adalah malaikat niscaya Allah akan mengutus seorang Malaikat kepada mereka, demikian pula jika penduduk bumi ini adalah manusia maka Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan mereka karena bangsa kepada bangsa yang sama akan cocok.[12] Adapun di antara malaikat-malaikat yang diberi tugas Allah adalah:

1.      Jibril ‘Alaihissalâm,

Jibril adalah malaikat yang diberi tugas menyampaikan wahyu, yang juga dikenal dengan nama Ruhul Qudus, Ruhul Amin dan Namus. Dalam salah satu surah, Allah berfirman tentang nama malaikat Jibril,

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ. مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

 

“Katakanlah (Muhammad), ‘Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.’ Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 97-98)

Dalam ayat lain Allah berfirman,

وَلَقَدْ آَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَقَفَّيْنَا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآَتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

 

“Dan sungguh, Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami susulkan setelahnya dengan rasul-rasul, dan Kami telah berikan kepada Isa putra Maryam bukti-bukti kebenaran serta Kami perkuat dia dengan Rohulkudus (Jibril). Mengapa setiap rasul yang datang kepadamu (membawa) sesuatu (pelajaran) yang tidak kamu inginkan, kamu menyombongkan diri, lalu sebagian kamu dustakan dan sebagian kamu bunuh?” (QS. Al-Baqarah [2]: 87)

Allah juga berfirman,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ. نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ.

Dan sungguh, (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, (QS. Asy-Syu’arâ’ [26]: 192-194)

Adapun nama Namus tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an. Tetapi ada dalam beberapa hadis Rasulullah saw. yang shahih, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., disebutkan bahwa di awal-awal wahyu turun kepada Nabi Muhammad saw.sebagai pertanda bahwa beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau betul-betul dalam keadaan takut. Beliau segera pulang ke rumahnya dari uzlah di gua Hira’. Setelah sampai di rumah Muhammad saw. menceritakan pada istri tercinta, Khadijah binti Khuwilid ra., tentang apa yang dialaminya di gua Hira’. Kemudian sang istri menghibur suami yang dicintainya itu,

“Tuan tidak apa-apa, Tuhan[13] tidak akan mencelakakan tuan. Bukankah Anda selalu berbuat baik, suka membantu orang yang susah, suka menolong orang yang lemah, menyambung silaturrahim…?”

Kemudian Khadijah ra.membawa sang suami tercinta ke rumah anak pamannya yang pada saat itu sudah amat tua, bahkan beliau sudah buta, namanya Waraqah bin Naufal. Dialah seorang yang alim lagi banyak ilmunya dan seorang penginjil. Dan setelah sampai di rumah Waraqah bin Naufal ini, Khadijah ra.berkata,

“Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang akan diceritakan oleh anak pamanmu ini.” Ketika itu, Waraqah bertanya kepada Muhammad saw. seraya berkata,

“Apa yang telah kamu alami?”

Kemudian Muhammad saw. pun meceritakan apa yang telah dialaminya saat di gua Hira’. Mendengar kisahnya, Waraqah berkata,

“Itu adalah Namus yang dulu pernah Allah utus pada Nabi Musa as. Alangkah baiknya jika aku masih muda, masih hidup pada saat kamu diusir kaummu sendiri.”

“Apakah mereka akan mengusirku?” Tanya Nabi saw.

“Ya. Tidak ada seorang pun yang datang seperti engkau ini melainkan akan disiksa. Sekiranya, aku masih hidup pada waktu itu, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga.”[14]

2.      Malaikat Maut

Ia adalah malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa atau mengambil roh semua mahluk. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an,

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan.’” (QS. As-Sajdah [32]: 11)

3.      Mikail ‘Alaihissalam

Ia adalah malaikat yang mengatur turunnya hujan. Malaikat ini lebih dikenal dengan nama Mikail,[15] dia diberi tugas oleh Allah mengurus tumbuh-tumbuhan sesuai dengan apa yang telah ditentukan Allah yang Maha Pengatur lagi Maha Bijaksana. Dalam hal ini, Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. yang artinya, “Ketika salah seorang lelaki berada di tanah lapang, ia mendengar bunyi suara dari awan yang mengatakan, siramlah kebun si fulan, maka bergeraklah awan tersebut yang kemudian datang menumpahkan air di suatu tanah yang berbatu hitam. Maka saluran yang ada di situ dipenuhi air seluruhnya. Ketika itu, (orang yang tadi melihat) ada seseorang yang sedang memindahkan air dengan skopnya, lalu ia mendatangi sambil bertanya kepada orang tersebut,

’Wahai Abdullah siapakah namamu?’

‘Nama saya fulan.’ Jawab orang itu. Nama yang tadi di dengarnya di awan. Lalu, orang itu balik bertanya,

’Wahai Abdullah, kenapa engkau menanyakan nama saya?’

‘Tadi saya mendengar sesuatu dari awan yang menumpahkan air  hujan ini, suara tersebut mengatakan, ‘siramlah kebu si fulan’ yang ternyata nama itu adalah nama Anda sendiri, lantas apa yang akan Anda perbuat nanti?’

‘Adapun terhadap apa yang Anda tanyakan itu, saya akan melihat apa yang akan dihasilkannya nanti. (Jika berhasil nanti dengan baik), sepertiganya akan saya sedekahkan, sepertiganya lagi saya makan dengan keluarga, sepertiganya lagi saya akan kembalikan padanya (tanaman),’” Dalam riwayat yang lain, sepertiganya lagi akan saya berikan kepada orang miskin, orang yang meminta-minta dan musafir.[16]

 

  • 4.                  Israfil ‘alaihi salam

Ia adalah Malaikat yang diberi tugas untuk meniup terompet sangkakala. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

“Dan pada hari itu Kami biarkan mereka (Yakjuj dan Makjuj) berbaur antara satu dengan yang lain, dan (apabila) sangkakala ditiup (lagi), akan Kami kumpulkan mereka semuanya.” (QS. Al-Kahf [18]: 99)

Sebagian ulama seperti Ibnu Al-Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir berpendapat bahwa peniupan sangkakala yang dilakukan oleh Malaikat Israfil alaihissalam sebanyak tiga kali. Pertama, tiupan yang menimbulkan ketakutan,  kedua, tiupan untuk mematikan dan ketiga, tiupan untuk kebangkitan kembali.[17]

5.                  Munkar dan Nakir

Ia adalah malaikat yang diberi tugas untuk menanyai mayat yang ada di dalam kubur. Dalam hadis Rasululah saw. bersabda, “Apabila mayat salah seorang di antara kamu selesai dikuburkan, datanglah kepadanya dua malaikat yang berwarna hitam keabu-abuan. Satu bernama Munkar satunya lagi bernama Nakir.” (HR. At-Turmudzi)[18]

6.                  Penjaga Pintu Surga

Allah berfirman,

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masuklah, kamu kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar [39]: 73)

7.                  Zabaniyah

Ia adalah malaikat yang diberi tugas oleh Allah swt. sebagai penjaga neraka. Jumlah mereka cukup banyak. Di antara jumlah yang besar itu ada 19 malaikat sebagai pemimpin. Dan, pemimpin mereka adalah malaikat Malik. Allah berfirman dalam al-Qur’an,

وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ. لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ. لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ. عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ.

“Dan tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, yang menghanguskan kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (QS. al-Muddatstsir [74]: 27-30)

Allah juga berfirman,

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ

“Dan mereka berseru, ‘Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.’ Dia menjawab, ‘Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).’” (QS. Az-Zukhruf [43]: 77)

8.                  Mu’aqqibât

Mereka adalah para malaikat yang bertugas menjaga hamba-hamba Allah dalam segala keadaan. Allah berfrman,

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

 

Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Ar-ra’d [13]: 11)

9.                  Kirâman Kâtibîn

Mereka adalah malaikat-malaikat yang diberi tugas oleh Allah untuk mengawasi dan mencatat segala amal perbuatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya, baik amal baik atau buruk. Allah berfirman,

أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لاَنَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُم بَلَى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ

Ataukah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan Kami (malaikat) selalu mencatat di sisi mereka. (QS. Az-Zukhruf [43]: 80)

Dan juga firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ. كِرَامًا كَاتِبِينَ. يَعْلَمُونَ مَاتَفْعَلُونَ.

“Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithâr [82]:10-12)

10.              Hâmil ‘Arsy (Penyangga ‘Arsy)

Malaikat yang bertugas sebagai penyangga ‘Arsy ini berjumlah 8 malaikat. Allah berfirman,

وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَآئِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

“Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS. al-Hâqqâh [69]: 17)

Disamping menyangga ’Arsy mereka juga memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang senantiasa beriman dan bertobat pada Allah. Allah berfirman,

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

“(Malaikat-malaikat) yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan (agama)-Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang bernyala-nyala.’” (QS. Al-Mukmin [40]: 7)

 

  • 11.              Malaikat yang Bertugas Menjaga Rahim

Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw.,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيَدْخُلُهَا[19]

“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dihimpun penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari. Kemudian, pada hari itu menjadi segumpal darah kemudian. Setelah itu, diutuslah malaikat dan diperintahkan untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan menulis rezekinya, ajalnya, dan amalnya; sengsara ataukah bahagia. Maka (demi) yang tiada ilâh melainkan hanya Ia, sesungguhnya salah seorang di antara kamu ada yang melakukan perbuatan ahli surga sampai tiada jarak antara dirinya dan surga itu kecuali sehasta, akan tetapi karena didahului oleh takdir maka ia berbuat perbuatan ahli neraka sampai ia memasukinya. Dan salah seorang di antara kamu ada yang melakukan perbuatan ahli neraka sampai tiada jarak antara dirinya dan neraka itu kecuali sehasta, akan tetapi karena didahului oleh takdir maka ia berbuat perbuatan ahli surga sampai ia memasukinya.” (HR. Al-Bukhari)

12.   Malak Al-Jibâl (Yang Menjaga Gunung)

قَالَ (رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فَنَادَانِى مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَىَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِى رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِى بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْنِ قَالَبَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا[20]

Rasulullah saw. bersabda, “Kemudian Malak Al-Jibal memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku. Kemudian berkata,

‘Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah Maha Mendengar atas perkataan kaummu padamu dan aku adalah Malak Al-Jibal. Aku telah diutus Tuhanmu (untuk datang) padamu, agar engkau menyuruhku (membantu menyelesaikan) perkaramu. Maka, apa keinginanmu (terhadap kaum yang mengataimu)? Jika engkau mau, akan kuhimpit mereka itu dengan dua gunung batu (Abu Hubaisy dan Al-Ahmar).’

‘Jangan. Aku berharap Allah swt. melahirkan dari mereka generasi yang menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.’” (HR. Muslim)

13.   Malak Al-Aurâq wa Asy-Syajar (Yang Mengurusi Daun dan Pepohonan)

Dalilnya adalah Hadis Mauquf berikut ini,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَلَائِكَةٌ فِي الْأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَة يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ[21]

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain malaikat pencatat amal baik dan buruk, mereka mencatat setiap daun yang jatuh.” (HR. Al-Baihaqi)[22]

14.   Malak Ar-Rîh (Yang Mengatur Angin)

Dalam sebuah Hadis Mauquf dari Ali ibn Abi Thalib, ia berkata,

وَلَمْ يَنْزُل شَيْءٌ مِنَ الرِّيْحِ إِلَّا بِكيل عَلَى يَدَي مَلَكٍ

 “Dan tidak turun sehembusan angin pun kecuali diukur dengan kedua tangan seorang malaikat.” (HR. Ath-Thabari)[23]

15.   Al-Malak Al-Qâim bi Amri Asy-Syams (Yang Mengatur Matahari)

أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ قَالَ لاَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ حَتَّى يَصْحَبَهَا ثَلاَثُ مِئَةِ مَلَكٍ وَسَبْعُونَ مَلَكًا[24]

“Sesungguhnya Sa’id ibn Musayyab berkata, “Matahari selalu terbit ditemani 370 malaikat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

16.  Al-Malak Al-Ladzi Yu’amminu Ad-Du’â

Rasulullah saw. bersabda,

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian sendiri kecuali yang baik karena sesungguhnya malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim)

17.   Malak Al-Mathar wa As-Sahhâb (Yang Mengurus Hujan)

Rasulullah saw. pernah ditanya seorang Yahudi tentang petir dan beliau menjawab,

مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مَخَارِيقُ مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ[25]

“Itu adalah suara salah satu malaikat yang ditugasi menjaga awan. Dia membawa mikhraq (alat yang digunakan malaikat untuk menggiring awan[26]) yang terbuat dari api untuk menuntun awan ke mana saja Allah menghendaki.” (HR. At-Turmudzi, Ahmad, An-Nasa’i dan Ath-Thabrani)

Itulah sekelumit di antara sekian banyaknya para Malaikat yang telah Allah ciptakan beserta tugas-tugasnya. Seperti yang telah disebutkan bahwa mereka adalah mahluk-mahluk Allah yang suci, taat dan patuh terhadap semua yang telah menjadi ketentuan Allah. Mereka tidak mengenal kata tdak di saat Allah memerintahkannya, dan jumlah mereka sangat banyak. Dapat kita bayangkan, menurut keterangan Rasulullah saw. bahwa di Baitul Makmur—di mana Rasul menyaksikan di saat peristiwa Mikraj—setiap hari ada 70 ribu malaikat yang melakukan thawaf di tempat tersebut.

Dan dalam keterangan lain disebutkan bahwa langit, matahari, bulan dan bintang itu masing-masing ada Malaikat yang menjaganya, seperti halnya juga gunung, sebagaimana disebutkan tatkala Rasulullah saw. sedang mendapat hinaan dan pengusiran dari kaumnya maka malaikat yang bertugas menjaga gunung itu menawarkan kepada Baginda Rasulullah saw. bagaimana jika kaum itu dibinasakan dengan gunung tersebut. [27]

C.    TAFSIR SURAH AL-ANBIYA’, AYAT 26-27

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ. لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ

 

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani)[28] berkata, Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak. Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan,mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.(QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 26-27)

KOSAKATA

وَلَدًا : اِسْمٌ يُجْمَعُ الوَاحِدُ وَالكَثِيْرُ وَالذَّكَرُ والأُنثَىاَلْوَلَدُ(dalam bahasa Arab kata al-walad artinya adalah anak, baik itu satu anak, banyak anak, anak perempuan ataupun anak laki-laki)[29]

عِبَادٌ  :  جَمْعٌ مِنْ عَبْدٍ وَالْعُبُوْدِيَةُ تُنَافِي الْوِلَادَة(kata ‘ibad pada ayat di atas yang berarti hamba-hamba adalah untuk menegaskan bahwa para malaikat bukanlah anak Allah, tetapi hamba-hamba-Nya. Dan, sebutan hamba itu sendiri otomatis menafikan adanya proses kelahiran.[30] Hamba adalah makhluk yang diciptakan)

 

لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ : لَا يَقُوْلُوْنَ حَتَّى يَقُوْلَ(para malaikat tidak akan bicara sebelum Allah berfirman).[31] Pendapat lain mengatakan bahwa kalimat itu bermakna bahwa para malaikat tidak akan mengutarakan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan Allah swt. (لايقولون قولا بخلافه).[32]

سُبْحَانَهُ : نَزَّهَ نَفْسَهُ عَمَّا قَالُوْا(Allah mensucikan diri dari perkataan mereka atau Allah membebaskan diri dari sifat-sifat yang mereka sematkan pada-Nya).[33]

 TAFSIR

Ayat ini merupakan respons terhadap theologi atau keyakinan yang berkembang di masa Jahiliah. Terutama, orang-orang Yahudi dan kaum musyrik dari suku Khuza’ah, Juhainah, Bani Salamah, Bani Malih. Mereka berkata bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, ibu mereka adalah jin.[34] Atau, dalam kitab lain yang intinya sama dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi berkata, “Allah swt. menikahkan anaknya (malaikat) dengan jin dan menurut mereka malaikat itu juga termasuk jin.”[35]

Memang di masa Jahiliah, tepatnya sebelum Quraisy berkuasa, orang-orang Khuza’ah suka membuat-buat hal baru dalam keyakinan mereka. Mereka mengingkari agama tauhid yang sudah kokoh di Mekah pada waktu itu yakni dengan menyebarkan pemahaman-pemahaman sesat seperti anggapan bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Mereka bahkan dicatat oleh sejarawan sebagai suku yang pertama kali mentradisikan paganisme di sekitar Ka’bah.[36] Jadi, akidah-akidah mereka sudah melenceng dari sejak awal. Keyakinan mereka juga tidak jelas.

Oleh sebab itulah, Rasulullah saw. diutus untuk menegakkan akidah yang benar yang pernah juga dakwahkan Nabi Ibrahim as.—tapi kemudian dirusak kaum-kaum musyrik Arab yang mengingkari tauhid dan hendak mencemari Ka’bah. Al-Qur’an dan Hadis sudah tegas dalam menjelaskan perihal malaikat ini. Penjelasannya tersebar di berbagai ayat dan hadis-hadis Rasulullah saw.

Salah satunya ada pada ayat di atas. Di sana, dijelaskan bahwa malaikat itu bukanlah anak Allah, Maha Suci Allah dari sifat ini. Mereka adalah (1) hamba Allah. Artinya, sebagai hamba tidak mungkin malaikat dilahirkan Allah, tapi diciptakan Allah. Tapi, (2) meskipun hamba, mereka kategorinya adalah hamba-hamba yang mulia. Sebab, (3) mereka tidak pernah mengutarakan ucapan yang menentang Allah atau ucapan yang bertentangan dengan firman Allah. Mereka (4) sangat patuh pada perintah-perintah Allah swt.

Masih banyak lagi informasi dari Al-Qur’an dan Hadis tentang malaikat ini, yang harus kita ketahui dan kita imani. Seperti, dijelaskan dalam hadis bahwa malaikat itu diciptakan dari cahaya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ[37]

“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, dan Iblis (al-jânn adalah abu al-jin atau iblis) diciptakan dari pijar dan api, dan Adam diciptakan dari apa yang sudah disifat pada kalian (dalam Al-Qur’an).” (HR. Muslim)

1.      Malaikat Diciptakan Sebelum Manusia

Selanjutnya, yang perlu diketahui lagi adalah bahwa malaikat diciptakan sebelum manusia. Ini untuk menjawab ketika ada pertanyaan, “Kapan malaikat diciptakan?” Adapun dalilnya adalah firman Allah swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 30,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Dari ayat di atas, dapat kita pahami secara jelas bahwa sebelum manusia diciptakan malaikat sudah ada. Sebab, Allah swt. berfirman pada malaikat ketika Dia hendak menciptakan manusia (khalifah) di bumi. Lebih jelas lagi dalam surah Al-Hijr ayat 29, Allah swt. berfirman,

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr [15]: 29)

Jadi, setelah kejadian manusia sempurna dan roh ditiupkan ke dalam jasad manusia, Allah swt. memerintahkan malaikat untuk tunduk hormat. Ini, sudah memperkuat bukti bahwa malaikat diciptakan sebelum manusia. Lantas, berapa sebenarnya jumlah malaikat di alam semesta ini? Ini mungkin pertanyaan yang menggelitik benak kita. Tapi, Allah sudah menjelaskan jawaban-Nya dalam Al-Qur’an,

وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ

“Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 31)

Di dalam Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm, disebutkan bahwa para filosof Yunani mengatakan jumlah malaikat adalah 19 yang kemudian keyakinan ini diikuti banyak orang.[38] Tapi, secara tegas Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidak ada yang tahu jumlah malaikat kecuali Allah swt. seperti yang kita pahami dari ayat di atas. Artinya, jumlah malaikat itu sangat banyak, hingga kita tak mampu menghitungnya. Pemahaman tentang “banyak” ini dapat kita ambil dari hadis sahih riwayat Abu Asy-Syaikh dari ‘Aisyah ra. dalam kitabnya, Al-‘Uzhmah sebagai berikut:

مَا فِى السَّمَاءِ مَوْضِعُ قَدَمٍ إِلَّا عَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ[39]

“Tidak ada tempat pun di langit meski itu hanya seluas tapak kaki, melainkan ada malaikat yang sedang sujud.” (HR. Abu Asy-Syaikh)

2.      Malaikat Juga Mati

Apakah malaikat mati? Pertanyaan ini mungkin sepele, tapi pengetahuan tentang hal itu termasuk bagian dari iman pada malaikat. Jawabannya, semua malaikat akan mati karena yang tidak binasa atau mati hanyalah Allah swt. sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash [28]: 88)

Hanya saja, proses kematian malaikat ini bertahap. Dalam sebuah hadis masyhur yang menyinggung detik-detik Hari Kiamat—ketika sangkakala ditiup Israfil atau sering kita menyebutnya dengan hadîts ash-shûrdijelaskan sebagai berikut:

ثُمَّ يَأْمُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِسْرَافِيْلَ فَيَأْمُرُهُ بِنُفْخَةِ الصَّعْقِ فَيَنْفُخُ نُفْخَةَ الصَّعْقِ فَيَصْعَقُ أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وِالْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللهُ فَإِذَا هُمْ خَمَدُوْا جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ قَدْ مَاتَ أَهْلُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شِئْتَ.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَهُوَ أَعْلَمُ): فَمَنْ بَقِيَ؟

فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ بَقِيْتَ أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِيْ لَا تَمُوْتُ وَبَقِيَ حَمَلَةُ عَرْشِكَ وَبَقِيَ جِبْرِيْلُ وَمِيْكَائِيْلُ وَأَنَا.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: لِيَمُتْ جِبْرِيْل وَمِيْكَائِيْل. فَيَتَكَلَّمَ الْعَرْشُ فَيَقُوْلُ يَا رَبِّ تُمِيْتُ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ؟ فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، اُسْكُتْ إِنِّيْ كَتَبْتُ عَلَى كُلِّ مَنْ تَحْتَ عَرْشِيْ اَلْمَوْتَ فَيَمُوتَانِ. وَيَأْتِي مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَيَقُوْلُ قَدْ مَاتَ جِبْرِيْلُ وَمِيْكَائِيْلُ.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَهُوَ أَعْلَمُ): فَمَنْ بَقِيَ؟

فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ بَقَيْتَ أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِيْ لَا تَمُوْتُ وَبَقِيَ حَمَلَةُ عَرْشِكَ وَبَقَيْتُ أَنَا.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: لِيَمُتْ حَمَلَةُ عَرْشِي. فَيَمُوْتُوْنُ ثُمَّ يَأْتِي مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى الْجَبَّارِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ قَدْ مَاتَ حَمَلَةُ عَرْشِكَ.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَهُوَ أَعْلَمُ): فَمَنْ بَقِيَ؟

فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ بَقَيْتَ أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِيْ لَا تَمُوْتُ وَبَقَيْتُ أَنَا.

فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنْتَ خَلْقٌ مِنْ خُلُقِيْ خَلَقْتُكَ لِمَا رَأَيْتَ فَمُتْ، فَيَمُوْتُ.[40]

Kemudian Allah memerintahkan Israfil untuk meniup sangkakala. Israfil pun meniupnya, maka seluruh penduduk langit dan bumi mati kecuali yang Allah kehendaki hidup. Ketika semua penduduk langit dan bumi mati bergelimpangan, Malaikat Maut datang menghadap Allah swt. dan berkata,

            “Ya Allah, penduduk langit dan bumi telah mati, kecuali (beberapa malaikat) yang Engkau kehendaki (agar tetap hidup).”

            “Tinggal siapa?” Tanya Allah swt. (dan pada hakikatnya Dia Maha Tahu).

            “Sekarang, tinggal Engkau, Zat yang Maha Hidup dan tidak akan mati, kemudian malaikat-malaikat yang meyangga ‘Arsy-Mu, kemudian Jibril, Mikail dan saya (Malaikat Maut).”

            “Matilah Jibril dan Mikail.” Mendengar itu, ‘Arsy bertanya (heran),

Engkau akan mematikan Jibril dan Mikail?

Diam kamu!” Jawab Allah swt.,Sudah Ku-tetapkan bahwa setiap makhluk di bawah ‘Arsy-Ku akan mati. Maka, keduanya juga akan mati. Kemudian, datanglah Malaikat Maut menghadap Allah swt. dan berkata,

“Jibril dan Mikail sudah mati.”

            “Tinggal siapa, sekarang?” Tanya Allah swt. (dan pada hakikatnya Dia Maha Tahu).

“Sekarang, tinggal Engkau, Zat yang Maha Hidup dan tidak akan mati, kemudian malaikat-malaikat yang meyangga ‘Arsy-Mu, dan saya (Malaikat Maut).”

“Matilah malaikat-malaikat penyangga ‘Arsy-Ku.” Maka mereka semua mati. Kemudian, Malaikat Maut datang menghadap Allah swt. dan berkata,

“Ya Allah. Malaikat-malaikat penyangga ‘Arsy-Mu telah mati.”

            “Tinggal siapa, lagi?” Tanya Allah swt. (dan pada hakikatnya Dia Maha Tahu).

“Sekarang, tinggal Engkau, Zat yang Maha Hidup dan tidak akan mati dan saya.”

“Engkau adalah salah satu dari makhluk-Ku. Engkau Ku-ciptakan untuk mengerjakan apa yang telah engkau lihat (mencabut nyawa). Maka matilah engkau (Malaikat Maut).” Akhirnya, Malaikat Maut pun mati.(HR. Abu Asy-Syaikh)

Hadis panjang di atas, membuktikan bahwa malaikat pun mati meskipun itu Malaikat Maut. Jadi, tak ada yang tak binasa di alam semesta ini, jika sangkakala ditiup dan Hari Kiamat tiba semua pasti mati.

3.      Malaikat Memiliki Wajah yang Bagus dan Perkasa

Selanjutnya, dari hadis-hadis yang lain kita mendapatkan informasi juga bahwa malaikat itu memiliki wajah yang bagus. Istilah bagus ini untuk menegasikan makna cantik atau ganteng karena keduanya untuk menyifati manusia yang berdasarkan jenis kelamin. Adapun dalilnya adalah firman Allah swt.,

عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى

“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa)” (QS. An-Najm [53]: 5-6)

4.      Malaikat Dapat Menjelma Menjadi Manusia

Selain sifat-sifat di atas, malaikat juga memiliki kelebihan lain yang diberikan Allah swt. yakni bisa berubah wujud dan menjelma menjadi manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt.,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا. فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا. قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا.

 

Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur’an), (yaitu) ketika dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitulmaqdis), lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.” Dia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS. Maryam [19]: 16-19)

Dalam sebuah hadis, yang menceritakan seorang lelaki yang bertanya pada Rasulullah saw. tentang Islam, Iman dan Ihsan disebutkan bahwa dia (lelaki) itu sebenarnya adalah malaikat Jibril. Dia datang menemui Nabi saw. menyerupai lelaki Arab Badui. Itu merupakan salah satu penyerupaan malaikat dalam bentuk manusia. Tapi, terkadang malaikat juga datang menjumpai Nabi saw. menyerupai Dihyah Al-Kalbi (seorang sahabat yang memiliki wajah ganteng). Atau, menyerupai lelaki muda. Bahkan, malaikat pernah menampakkan sayapnya yang membentang dari ujung timur hingga ujung barat.[41]

5.      Malaikat Tidak Makan dan Minum

Lalu, apakah malaikat itu makan dan minum? Tentu, kita semua tahu jawabannya. Tapi, mungkin kita semua belum tahu dalil yang kuat untuk memperkokoh keyakinan kita tersebut. Dalam surah Adz-Dzariyat ayat 26-28 disebutkan dengan jelas tapi tersirat bahwa malaikat tidak makan. Allah swt. berfirman,

فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ. فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ. فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ

 

“Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, ‘Mengapa tidak kamu makan.’ Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, ‘Janganlah kamu takut,’ dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).’” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 26-28)

6.      Malaikat Tidak Tidur

Selain tidak makan, malaikat juga tidak tidur. Dalam surah Al-Anbiya’ ayat 20 dijelaskan, Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang. Hebatnya lagi, mereka tidak pernah merasa lelah atau jemu. Allah swt. berfirman, Jika mereka menyombongkan diri, maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbih kepada-Nya pada malam dan siang hari, sedang mereka tidak pernah jemu.(QS. Fushshilat [41]: 38)

7.      Malaikat Selain Jibril as. yang Menemui Nabi saw.

Kita tahu bahwa di antara malaikat yang paling akrab dengan Nabi saw. adalah Jibril as. karena ia sering membawa wahyu Al-Qur’an. Tapi, dalam hadis sahih riwayat Muslim, ada malaikat lain yang pernah menemui Nabi saw. dan mendapat perintah yang sama seperti perintah Allah swt. pada Jibril. Malaikat itu tidak pernah turun ke muka bumi kecuali sekali saja. Dalam hadis itu disebutkan bahwa sang malaikat datang untuk memberi kabar gembira pada Rasulullah saw. tentang dua cahaya, yakni surah Al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah Al-Baqarah. Berikut redaksi hadisnya,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَسَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلاَّ الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِىٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلاَّ أُعْطِيتَهُ[42]

 

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Ketika Jibril as. duduk di samping Nabi saw., terdengar suara dari atas Jibril as. maka Jibril as. mengangkat kepalanya (mendongak). Kemudian ia berkata,

            ‘Ini suara pintu langit yang hari ini sedang dibuka. Pintu itu belum dan tidak akan pernah dibuka kecuali hari ini.’ Maka, turunlah dari pintu itu sesosok malaikat. Kemudian, Jibril as. berkata,

            ‘Ini adalah sesosok malaikat yang (ditugaskan) turun ke bumi. Dia tidak turun ke bumi kecuali hari ini.’ Lalu, sesosok malaikat itu menyampaikan salam dan berkata,

            ‘Aku datang untuk memberi kabar gembira tentang dua cahaya (nûraini). Keduanya diberikan kepadamu (Muhammad saw.) dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum kamu. Yakni surah pembuka Al-Kitab (surah Al-fatihah) dan ayat-ayat terakhir dari surah Al-Baqarah. Tidak ada satu huruf pun dari dua cahaya (nûraini) yang kamu baca itu, kecuali kamu akan mendapat apa yang terkandung (atau yang tersirat) di dalamnya.” (HR. Muslim)

Tapi, tidak disebutkan secara detail, baik oleh pensyarah hadis atau ulama lain mengenai siapa sebenarnya malaikat tersebut. Kita mungkin bertanya-tanya tentang sesosok malaikat itu. Namun, perihal nama dan identitasnya itu adalah masalah gaib yang tidak bisa kita sangka atau kita duga-duga. Kewajiban kita hanyalah beriman, baik terhadap kejadian ini maupun pada keberadaan malaikat tersebut.

8.      Malaikat Memiliki Ka’bah Sendiri

Ka’bahnya para malaikat itu namanya Al-Baitu Al-Ma’mur. Dalam hadis Isra’ Mikraj yang panjang itu Nabi saw. meyinggung sedikit tentang kondisi Al-Baitu Al-Ma’mur. Beliau bersabada,

ثُمَّ رَفَعَ لِي الْبَيْتَ الْمَعْمُوْرِ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُوْنَ أَلْفِ مَلَكٍ[43]

“Kemudian, aku dinaikkan ke Al-Baitu Al-Ma’mur yang setiap harinya 70.000 malaikat masuk ke sana.” (HR. Al-Bukhari)

9.      Malaikat Memohonkan Ampun untuk Orang-orang Mukmin

Dalam surah Al-Ahzâb Allah swt. berfirman,

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.(QS. Al-Ahzâb [33]: 43)

10.  Malaikat Mengelilingi Jamaah Tilawah Al-Qur’an di Dalam Masjid

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

 

“Tidak ada suatu kaum (jamaah) yang berkumpul di dalam salah satu masjid dari masjid-masjid Allah yang di sana mereka membaca Al-Qur’an dan saling menyimak kecuali ketenangan akan turun menghampiri mereka, mereka diliputi rahmat dan dikelilingi malaikat dan Allah akan menyanjung mereka di hadapan malaikat dan para nabi.” (HR. Abu Daud)

11.  Malaikat Melaporkan pada Allah Amalnya Ahli Dzikir

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِنْ وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ، تَنَادَوْا: هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ. قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا. قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ، وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ، مَا يَقُولُ عِبَادِي؟ قَالَ يَقُولُونَ: يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ: هَلْ رَأَوْنِي؟ قَالَ فَيَقُولُونَ: لاَ وَاللهِ مَا رَأَوْكَ. قَالَ فَيَقُولُ: وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟ قَالَ يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا. قَالَ يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُونِي؟ قَالَ يَقُولُونَ: يَسْئَلُونَكَ الْجَنَّةَ. قَالَ يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا. قَالَ يَقُولُونَ: لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. قَالَ يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا، كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. قَالَ يَقُولُ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ قَالَ يَقُولُونَ: مِنَ النَّارِ. قَالَ يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: لاَ وَاللهِ مَا رَأَوْهَا. قَالَ يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً. قَالَ فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ

قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ: فِيهِمْ فُلاَنٌ، لَيْسَ مِنْهُمْ، إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ. قَالَ: هُمُ الْجُلَسَاءُ، لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ.[44]

Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah asaw. bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan jamaah yang berdzikir pada Allah, mereka memanggil (malaikat-malaikat) yang lain:

            ‘Cepatlah kemari demi hajat kalian (untuk mendengar dzikir dan mengunjungi ahli dzikir).’ Maka malaikat-malaikat pun mengelilingi jamaah ahli dzikir itu hingga sayap mereka menembus langit dunia. Kemudian, Allah bertanya pada pada malaikat (dan sesungguhnya lebih tahu dari mereka),

            ‘Apa yang diucapkan hamba-hamba-Ku (itu)?’

            ‘Mereka bertasbih pada-Mu, bertakbir pada-Mu, bertahmid pada-Mu, dan memuliakan-Mu.’

            ‘Apakah mereka melihat-Ku?’

            ‘Demi Allah! Mereka tidak melihat-Mu.’

            ‘Bagaimana jika mereka melihat-Ku?’

            ‘Jika mereka melihat-Mu, tentu mereka akan lebih giat ibadahnya kepada-Mu, lebih dalam untuk memuliakan-Mu, dan lebih banyak mengucap tasbih pada-Mu.’

            ‘Apa yang mereka minta?’

            ‘Mereka meminta surga pada-Mu.’

            ‘Apakah mereka sudah melihatnya?’

            ‘Demi Allah belum, ya Rabb. Mereka belum melihatnya.’

            ‘Bagaimana jika mereka melihatnya?’

            ‘Jika mereka melihatnya, tentu mereka menjadi lebih kuat keinginannya untuk meraih surga, lebih semangat untuk mencarinya, dan lebih hebat dalam mencintainya.’

            ‘(Lalu) mereka memohon perlindungan dari apa?’

            ‘Dari api neraka.’

            ‘Apakah merekah sudah melihatnya?’

            ‘Belum. Demi Allah, mereka belum melihat neraka.’

            ‘Bagaimana jika mereka melihatnya?’

            ‘Jika mereka melihatnya, tentu mereka akan lebih jauh menghindarinya, dan sangat takut padanya.’

            ‘Sekarang jadilah kalian saksi bahwa sesungguhnya aku telah mengampuni mereka.’

            ‘Kemudian sesosok malaikat berkata, ‘Di dalam jamaah dzikir itu ada seseorang yang bukan termasuk mereka. Ia datang untuk tujuan lain.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Mereka adalah jamaah yang (dengan mendatangi) majlis-majlisnya tidak membuat (mereka) rugi.’” (HR. Al-Bukhari)

 

  • D.    KESIMPULAN

Keyakinan atau keimanan akan adanya Allah merupakan pondasi aqidah dalam kehidupan. Beriman berarti meyakini dengan sepenuh hati dibarengi dengan komitmen amal. Islam meletakkan cabang iman lebih dari 70, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan dan yang paling tinggi adalah mengucapkan lâ ilâha illallâh (tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah). Tetapi, dasar-dasar pokok keimanan dalam Islam sekurang-kurangnya ada enam. Di antara yang 6 tersebut adalah beriman kepada malaikat. Beriman kepada malaikat berarti yakin akan keberadaan makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya itu.

Keberadaan malaikat memang tidak dapat dijangkau panca indra karena ia bagian dari mahluk gaib (tidak nyata). Dari sini, kemudian orang-orang yang ingkar pada agama Islam mengatakan bahwa malaikat adalah anak Allah, bahkan mereka mengatakan Jibril berjenis kelamin. Padahal, malaikat tiada lain adalah utusan Allah.

Malaikat merupakan makhluk yang Allah ciptakan dari cahaya. Ia disebut sebagai hamba al-mukramûn (المكرمون) yang dimuliakan. Disebut juga as-safarah (السفرة) perantara Allah kepada Rasul-Nya, yang memiliki sifat al-kirâm (الكرام) mulia, baik akhlak atau penciptaannya dan juga sifat al-bararah (البررة) suci, baik dzat maupun sifatnya. Mereka senantiasa menaati Allah dan tidak pernah bermaksiat pada-Nya. Bukanlah, laki-laki atau perempuan jenis kelaminnya dan maha suci Allah dari perkataan dan tuduhan orang-orang yang durhaka serta zalim yang mengatakan malaikat adalah anak Allah.[45]

Dalam keteraturan tugas dan kedudukan, malaikat mempunyai kesamaan dalam sebuah sistem. Disebutkan malaikat Jibril, Mikail dan Israfil. Mereka adalah pemimpin para Malaikat karena tugas  mereka sebagai “monitor” kehidupan. Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu. Wahyu itu kunci kehidupan hati dan roh. Mikail bertugas mengatur dan menurunkan hujan dari langit. Air hujan sumber kehidupan bumi dan tumbuh-tumbuhah dan hewan. Sedangkan Israfil bertugas sebagai meniup sangkakala yang itu merupakan kehidupan makhluk setelah kematiannya (Hari Berbangkit).[46]

 E.     DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya

Abu Al-‘Izz, Ali bin Ali bin Muhammad, Syarhu al-Aqîdah Thahawiyah, (Beirut:  Muassasah Arrisalah, 2000) h. 408

Ad-Dinuri, Ibnu Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts, (Beirut: Dar Al-Jil, 1972)

Ad-Dimasyqi, Abu Al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm, (Saudi Arabia: Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1999)

Ahmad ibn Ahmad Al-Fasi Abu Al-‘Abbas, Al-Bahr Al-Madîd, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2002)

Ali bin Ali bin Muhammad Abu Al-‘Izz, Syarhu al-Aqidah Thahawiyah, (Beirut:  Muassasah Arrisalah, 2000)

Ali Hukmi, Hafizh Ibnu Ahmad, Ma’ârij al-Qabûl, (Mesir: Daar al-Shafwa, 2006)

Al-Ashbihani, Abu Asy-Syaikh, Al-‘Uzhmah, (Riyadh: Dar Al-‘Ashimah, 1408 H)

Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Îman, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1410 H)

Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Al-Jami’ Ash-Shahîh  Al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987)

Al-Kharbuthli, Ali Husni, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jil, 2004)

Al-Minawi, Muhammad Abdurrauf, Faidh Al-Qadir, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1994)

Al-Qurthuby, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003)

Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Jami’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Riyad: Muassasah Ar-Risalah, 2000)

Al-Qusyairi, Muslim ibn Al-Hajjaj, Al-Jami’ Ash-Shahîh, Kitab Az-Zuhd, Bab fi Ahadits Mutafarriqah (Beirut: Dar Al-Jil, t. th.)

Ar-Razi, Fakhruddin, MafâtihAl-Ghaib, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000)

As-Samarqandi, Abu Al-Laits, Bahrul ‘Ulûm, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.)

As-Sam’ani, Abu Al-Muzhaffar, Tafsîr Al-Qur’ân, (Riyad: Dar Al-Wathan, 1997)

At-Turmudzi, Muhammad Abu ‘Isa, Al-Jami’ Ash-Shahih Sunan At-Turmudzi, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th.)

Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim Mahmud, Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn Al-Aqâwil fî Wujûh at-Ta’wîl, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th.)

Ibnu Mandzur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.)

Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadits, (Suriah: Dar Al-Fikr, 1997)


[1] Disarikan dari hadis riwayat Imam Muslim. Adapun teks asli hadisnya sebagai berikut:

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ. (رواه مسلم في صحيحه، كتاب الإيمان، باب مَعْرِفَةِ الإِيمَانِ وَالإِسْلاَمِ وَالْقَدَرِ وَعَلاَمَةِ السَّاعَةِ)

[2] Teks ayatnya sebagai berikut:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fâthir [35]: 1)

[3] Teks ayatnya sebagai berikut:

يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلَائِكَةَ لَا بُشْرَى يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا

“(Ingatlah) pada hari (ketika) mereka melihat para malaikat, pada hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata, ‘Hijran mahjura.’” (QS. Al-Furqân [25]: 22)

[4] Teks ayatnya sebagai berikut:

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

“Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 98)

[5] Teks ayatnya sebagai berikut:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلَائِكَةِ أَهَؤُلَاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ.

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Dia berfirman kepada para malaikat, Apakah kepadamu mereka ini dahulu menyembah?Para malaikat itu menjawab, Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.’” (QS. Saba’ [34]: 40-41)

[6] Teks ayatnya sebagai berikut:

لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا

Al-Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah). Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. (QS. An-Nisâ’ [4]: 172)

[7] Abdul Aziz bin Muhammad Abdul Latif, Kitab Tauhid, (Solo: Assalam, 2011) hal. 77.

[8] Abdul hamid Handawi, Jâmi al-Bayân fî Mufradat al-Qur’ân, (Riyadh: Maktabah Rusyd, 2007) Vol. III. Hal. 854.

[9] Muhammad ibn Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Riyadh: Muassasah Ar-Risalah, 2000) Jil. VIII. Hal. 151.

[10] Abdul Aziz bin Muhammad abdul Latif, Kitab Tauhid, hal. 77.

[11] Abu Abdullah Abdurrahman ibn Nashir As-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, (Beirut: Dar Ihya Turats ‘Arabiy, 1999) Hal. 918.

[12] Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000) Jil. XXI. Hal. 50.

[13] Tuhan menurut Khadijahra.pada waktu itu tentu bukanlah Tuhan (Allah) yang dipahami setelah beliau masuk Islam.

[14] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jâmi’ Ash-Shahîh Al-Mukhtashar, Hal. 1

[15] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhîm, Jil. I, Hal. 167.

[16] Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Al-Jâmi’ Ash-Shahîh, Kitab Az-Zuhd,Bab Shadaqah fi Al-Masakin, Hadis No. 45.

[17] Umar Sulaiman Al-Asyqar, Al-Qiyâmah Al-Qubra, (Kuwait: Maktabah Al-Falah, 1986) Hal. 40-41.

[18] At-Tirmidzi, Sunan At-Turmudzi, Kitab Janaiz, Bab Mâ Jâ’ fî ‘Adzâbi Al-Qabri, Hadis No. 1077.

[19] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jâmi’Ash-Shahîh Al-Mukhtashar, Kitab Bad’ Al-Khalq, Hadis No. 3208.

[20] Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Al-Jami’ Ash-Shahîh, Kitab Al-Jihâd wa As-Sair, Bab Ma Laqiya An-Nabiyu Min Adza Al-Musyrikin wa Al-Munâfiqîn, jil. V. Hal. 181.

[21] Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Îman, Ats-Tsalits wa Khamsûn min Syu’ab Al-Imân, Bab fi At-Ta’âwun ‘ala Al-Birri wa At-Taqwa (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1410 H) Jil. VI. Hal. 128.

[22] Hadis ini diriwayatkan secara marfu’ oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya, kemudian ia berkomentar bahwa itu merupakan satu-satunya sanad yang menegaskan bahwa hadis ini diriwayatkan dari Nabi saw. Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa hadis ini sanadnya hasan, gharib jiddan. Sedangkan As-Sakhawi, menganggap hadis ini hasan. Al-Haitsami berpendapat bahwa rawi-rawi yang ada dalam hadis ini semuanya tsiqah. Al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dalam Syu’ab Al-Îmân secara mauquf dengan dua sanad yang kesemua rawinya tsiqah. Dan, yang paling kuat dari riwayat ini adalah hadis yang mauquf riwayat Al-Baihaqi. Oleh karena itu, penulis mengambil dari hadis yang sanadnya mauquf bukan yang marfu’ ila an-nabiy. Meskipun hadis ini mauquf, tapi fi hukmi al-marfu’ karena ada qarinah-nya yakni mengabarkan sesuatu yang bukan wilayah akal (lâ majâla lir ra’yi). Qarinah inilah yang kemudianmenegaskan bahwa tidak mungkin sahabat (Ibnu ‘Abbas) mendengar kecuali dari Nabi saw. Nuruddin ‘Itr menjelaskan dalam kitabnya, Manhaj An-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadits, bahwa jika hadis mauquf itu memiliki qarinah maknawi atau lafdzi yang menunjukkan ke-marfu’-annya maka dia hukumnya sama dengan hadis marfu’ dan bisa dijadikan hujah. Lihat, Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqdi fî ‘Ulûm Al-Hadits, (Suriah: Dar Al-Fikr, 1997) Hal. 328.

[23] Hadis ini digunakan juga oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Lihat, Abu Al-Fida’ Ibn Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm, jil. VIII. Hal. 210.

[24] Ibnu Abi Syaibah Al-Kufi, Mushannaf ibn Abi Syaibah, Kitab Al-Adab Bab Man Kariha Asy-Syi’r wa An Ya’îhi fi Jaufih.

[25] Muhammad Abu ‘Isa At-Turmudzi, Al-Jami’ Ash-Shahih Sunan At-Turmudzi, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th.) Jil. V. Hal. 294.

[26] Muhammad Abdurrauf Al-Minawi, Faidh Al-Qadir, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1994) Jil. IV. Hal. 73

[27] Ali bin Ali bin Muhammad Abu Al-‘Izz, Syarhu al-Aqidah Thahawiyah, (Beirut:  Muassasah Arrisalah, 2000) h. 409

[28] Abu Al-Laits As-Samarqandi, Bahrul ‘Ulûm, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.) jil. II. Hal. 387.

[29] Ibnu Mandzur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.) Jil. III. Hal. 467.

[30] Abu Al-Qasim Mahmud Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq at-Tanzîl wa ‘Uyûn Al-Aqâwil fî Wujûh at-Ta’wîl, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th.) Jil. III. Hal. 113.

[31] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003) Jil. XI. Hal. 281.

[32] Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani, Tafsîr Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar Al-Wathan, 1997) Jil. III. Hal. 376.

[33] Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani, Tafsîr Al-Qur’ân, jil. III. Hal. 376.

[34] Ahmad ibn Ahmad Al-Fasi Abu Al-‘Abbas, Al-Bahr Al-Madîd, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2002) Jil. IV. Hal. 500.

[35] Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, jil. XVIII. Hal. 428.

[36] Ali Husni Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jil, 2004) Hal. 8.

[37] Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Al-Jami’ Ash-Shahîh, Kitab Az-Zuhd, Bab fi Ahadits Mutafarriqah (Beirut: Dar Al-Jil, t. th.) Jil. VIII. Hal. 226.

[38] Abu Al-Fida’ Ibn Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm, (Saudi Arabia: Dar Thayyibah li An-Nasyr wa At-Tauzi’, 1999) Jil. VIII. Hal. 270.

[39] Abu Asy-Syaikh Al-Ashbihani, Al-‘Uzhmah, (Riyadh: Dar Al-‘Ashimah, 1408 H) Jil. III. Hal. 984.

[40] Abu Asy-Syaikh Al-Ashbihani, Al-‘Uzhmah, jil. III. Hal. 826. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya.

[41] Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts, (Beirut: Dar Al-Jil, 1972) Hal. 127.

[42] Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Al-Jami’ Ash-Shahîh, Kitab Shalât Al-Musâfirîn, Bab Fadhlu Al-Fatihah wa Khawâtim Sûrah Al-Baqarah, jil. II. Hal. 198.

[43] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahîh  Al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987) Jil. III. Hal. 141.

[44] Muhammad ibn Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahîh  Al-Mukhtashar, jil.V. Hal. 235.

[45] Hafizh Ibnu Ahmad Ali Hukmi, Ma’ârij al-Qabûl, (Mesir: Daar al-Shafwa, 2006) Hal. 40.

[46] Ali bin Ali bin Muhammad Abu Al-‘Izz, Syarh al-Aqîdah Ath-Thahâwiyah, (Beirut:  Muassasah Arrisalah, 2000) Hal. 408

(Bukan) Tentang Penyucian Jiwa

Dalam keseharian kita, emosi kadang muncul tak terelakkan. Tapi, namanya juga emosi, ia cepat datang, cepat pula perginya. Biasanya, emosi itu dipicu oleh kondisi penat akibat tekanan batin yang berat. Sumbernya bermacam-macam, karena masing masing orang memiliki titik sensitif dan ketersinggungan yang berbeda. Seperti, ada orang yang ketika penat, disinggung sedikit tentang mantan kekasihnya, ia langsung naik pitam. Ada pula orang yang saat penat, mudah sekali marah-marah pada orang tertentu karena ia tidak suka, baik itu omongannya benar atau salah. Jadi, emosi ini ragamnya banyak, bahkan seringkali membuat kita ‘geli’ mendengar detail kejadiannya. Sebab, ada orang yang kalau marah, spontan melepas bajunya, membanting HP padahal bukan miliknya, menjambak-jambak rambut sendiri, menampar-nampar wajah sendiri, dan masih banyak lagi perilaku aneh lain yang mengentarakan jeleknya orang marah atau emosi.

Akibat merasa jengah dan lelah dikelabui perasaan sendiri, banyak di antara kita yang sering bertanya tentang cara meredam emosi. Dan, ternyata setiap orang memiliki jawaban sendiri-sendiri. Meskipun, banyak juga yang abai hingga marah atau emosi dianggapnya biasa dan akhirnya menjadi tabiat.

Al-Qur’an, sebagai kitab suci perikemanusiaan—meskipun tidak memberikan jawaban sedetail yang diharapkan orang-orang pemarah—sebenarnya telah memberikan penawarnya. Al-Qur’an bahkan mampu menawar emosi, cukup dengan dibaca saja meski seseorang tak paham isinya.

Perlu diketahui bahwa emosi, sedih, bahagia, gundah gulana dan lain sebagainya adalah ekspresi jiwa. Jiwa sendiri, dalam Al-Qur’an disebut dengan an-nafs. Dan, dilihat dari namanya, Al-Qur’an membagi jiwa dalam dua sifat yaitu an-nafsul muthma’innah atau jiwa yang kondisinya tenang (QS. Al-Fajr [89]: 27) dan an-nafsul ammârah bis-sû’ (QS. Yûsuf [12]: 53) atau jiwa kalut yang gemar mendorong berbuat keburukan.

Penyebutan an-nafsul muthma’innah dan an-nafsul ammârah bis-sû’ dalam Al-Qur’an itu, sejatinya bukan menunjukkan kelas atau tingkatan spiritual—bahwa ada orang yang jiwanyamuthma’innah dan ada orang yang jiwanya ammârah bis-sû’—, melainkan pengetahuan akan adanya fluktuasi dalam jiwa manusia. Artinya, secara sporadis, jiwa manusia kadang tenang, kadang bergolak atau galau. Pada saat galau atau jiwa dalam keadaan ammârah bis-sû’ inilah kita biasanya mudah marah-marah.

Lantas, cara apa yang ditawarkan Al-Qur’an untuk meredam emosi dan marah-marah ini agar jiwa kembali muthma’innah? Sebenarnya, secara eksplisit Al-Qur’an tidak memberikan cara atau tips untuk meredam emosi karena jika itu yang dilakukan maka penawarnya tidak akan cukup atau sebaliknya kitab suci itu justru akan menjadi ensiklopedia tips. Artinya tidak cukup adalah jika tips yang ditawarkan Al-Qur’an ada 10 saja maka hanya kesepuluh tips itulah yang dapat diterapkan untuk meredam emosi. Padahal, emosi itu terkait dengan karakter jiwa per jiwa, sedangkan jumlah jiwa di dunia ini—dari generasi ke generasi—mencapai milyaran. Atau, jika memang Al-Qur’an secara detail memberikan tips pada setiap jiwa maka bayangkan! Berapa halaman yang dibutuhkan Al-Qur’an hanya untuk menulis tips meredam emosi? Oleh karena itu, Al-Qur’an cukup memberikan pengetahuan tentang jiwa bahwa ia adalah motivator bagi hati dan pikiran manusia. Dengan pengetahuan itu, diharapkan manusia dapat meracik sendiri penawar emosi sesuai dengan kadar yang diperlukan.

Jadi, singkat saja tanpa perlu basa-basi, kita dapatkan simpulkan bahwa dalam hidup ini kita digerakkan oleh entitas gaib yang bernama jiwa. Maka kita adalah citra dari jiwa yang kita miliki. Kenapa pemarah? Mungkin karena jiwa kita penuh amarah. Oleh karena itu, untuk meredam emosi atau untuk keperluan lain seperti memperbaiki akhlak dan budi pekerti, memperbaiki hati, atau agar otak tetap positive thinking, kita harus menjaga kesucian jiwa.

Nah, dalam upaya penyucian dan perawatan jiwa itulah, menggali pengetahuan yang dipaparkan Al-Qur’an menjadi sangat penting. Namun, kini kita tak perlu repot-repot sebab ulama zaman dahulu sudah memikirkan hal itu jauh lebih mendalam dari kita saat ini yang mungkin sudah mengabaikannya. Mereka,bahkan telah membuat konsep yang sangat terkenal hingga kini yaitu tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Pelopornya adalah ulama sufi, dari Imam Al-Ghazali hingga Ibnu Taimiyah. Dalam kitab-kitabnya yang masyhur itu, mereka mengenalkan jiwa beserta anatominya. Di sana, jiwa kita ‘ditelanjangi’ dan dibedah. Sayangnya, saya bukanlah orang yang ahli di bidang tazkiyatun nafs,sehingga belum layak dan kurang pas menjelaskan detailnya di sini.  Tapi, sebenarnya jiwa itu apa sih?

Menurut saya, jiwa atau an-nafs adalah entitas yang memengaruhi, menginspirasi dan menggerakkan jasad dalam beraktivitas, berpikir dan merasa. Oleh karena itu, di Hari Penghitungan nanti, dialah yang bertanggung jawab atas amal perbuatan manusia. Dalam surah Az-Zumar, ayat 70, Allah berfirman, “Dan kepada setiap jiwa diberi balasan dengan sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya,” pada surah Al-Mu’min, ayat 17, juga disebutkan, “Pada hari ini (Hari Kebangkitan) setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya.” Sedangkan, kaki-kaki bersaksi, tangan kanan dan kiri berbicara, semua mengutarakan secara jujur tentang baik buruknya motivasi yang diberikan jiwa pada mereka. Dalam surah Yâsîn, ayat 65, Allah berfirman, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Jadi, dalam hidup ini jiwalah aktor utamanya. Dialah identitas ‘aku’ yang sebenarnya. Sehingga, cara pertama untuk berubah dan berbenah diri adalah dengan mengubah dan membenahi jiwa, bukan sekadar hati dan pikiran. Sebab, keduanya akan baik jika jiwa kita baik dan akan buruk jika jiwa kita buruk.

Terdapat kisah menarik terkait jiwa ini. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khaththab pernah berkata di tengah-tengah para sahabat Nabi saw., “Mimpi itu sungguh menakjubkan, Di antaranya, ada orang yang dalam mimpinya mengalami suatu peristiwa, kemudian benar-benar ada di alam nyata. Tapi, ada pula mimpi yang tidak masuk akal di alam nyata.” Mendengar cletukan Umar ra., sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, “Perkenan aku memberi sedikit penjelasan tentang hal itu, wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Allah memegang jiwa seseorang pada saat kematiannya dan jiwa seseorang yang belum mati ketika ia tidur (QS. Az-Zumar [39]: 42).’ Itu artinya, Allah swt. sama-sama memegang jiwa orang yang mati ataupun orang yang hidup dalam tidurnya. Dan, ketika seseorang bermimpi sedang jiwanya dalam genggaman Allah maka mimpi itu adalah mimpi yang nyata (ar-ru’ya ash-shadiqah). Tapi, nahasnya, saat jiwa dikembalikan pada jasad terkadang setan mengambilnya di tengah jalan kemudian membohongi jiwa itu dan mendoktrin banyak hal tentang kebatilan.'” (HR. As-Suyuthi, Jami’ Al-Ahadits, Musnad Ali bin Abi Thalib)

Itulah jiwa menurut Imam Ali, entitas bening yang mudah dicekal setan dan malaikat tentunya. Jika kita, atas nama jiwa, tidak mengolah waktu dan intensitas untuk bersama siapa? Setan akan segera merebut kuasa. Jangan biarkan itu terjadi, dekat-dekatkan jiwa pada bisikan malaikat dan doktrin mereka.

Lantas, apa bedanya jiwa dengan roh?

Roh atau ar-rûh adalah entitas batin yang menandai adanya kehidupan, ia tenang dalam tempat yang tak satu pun manusia tahu. Dan, semua roh itu suci. Saking sucinya, Allah memuliakan roh atas semua ciptaan-Nya dengan kalimat, wa nafakhtu fîhi min rûhî. Kalimat tersebut adalah bagian dari ayat ke-72 surah Shâd. Dalam Bahasa Arab, kalimat min rûhî ini, tidak bisa diartikan dengan, “dari roh-Ku,” karena bentuknya bukan idhâfah ba’dhiyah, melainkan idhâfah at-tasyrîf wa at-ta’zhîm. Jadi, arti yang selamat adalah “dari roh ciptaan-Ku”. Penggunaan idhâfah at-tasyrîf wa at-ta’zhîm, ini menunjukkan bahwa Allah memuliakan roh. Rohnya apa saja, bisa hewan atau manusia dan roh siapa saja, baik itu orang jahat atau orang baik. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada istilah roh jahat kecuali jiwa yang jahat, mungkin yang itu banyak!

Roh, sebagai tanda kehidupan, ia menjadi penghubung setiap makhluk kepada Dzat yang Mahahidup (al-hayyu alladzi lâ yamût). Jika ada orang mengatakan, “Memangnya Tuhan tidak ada pekerjaan mengamati perbuatan kita orang per orang?” maka sebenarnya ia belum mentas dari proses pencarian relasi makhluk dan Khalik. Padahal, karena roh itulah Dia lebih dekat dari urat nadi (aqrabu min hablil warîd), mengetahui apa yang terbesit dalam hati (ya’lamu mâ fis-shudûr), dan mengetahui rahasia serta yang lebih tersembunyi (ya’lamus sirra wa akhfâ).

Atas dasar ini, kemudian saya berasumsi bahwa manusia memiliki tiga entitas dalam dirinya yaitu roh, jiwa dan jasad. Jin memiliki dua entitas dalam dirinya, yaitu roh dan jiwa. Sedangkan, malaikat hanya memiliki satu entitas saja yaitu roh. Makanya, malaikat Jibril disebut juga dengan Rûhul Qudus. Allah swt. berfirman dalam surah An-Nahl, ayat 102, “Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).’” Dan, diperkuat lagi dengan firman Allah dalam surah Maryam, ayat 17, “lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.”

Maaf, jika kemudian pembahasan ini sampai pada roh-roh segala. Tapi, ini penting, mengingat roh, jiwa dan jasad adalah bagian tak terpisahkan dari diri makhluk terutama manusia seperti kita. Semoga bermanfaat.

Doa Nabi Khidhir ‘Alaihis Salam

يا من لا يشغله سمع عن سمع

yaa man laa yusyghiluhu sam’un ‘an sam’in

Wahai Zat yang tak tersibukkan pendengaran-Nya karena mendengar yang lain

****

يا من لا تغلطه المسائل

yaa man laa tughlithuhul masaa`il

Wahai Zat yang tak terkelirukan (dalam memberi) meski banyak permintaan

****

يا من لا يتبرم بإلحاح الملحين

yaa man laa yatabarromu bi ilhaahil malhiin

Wahai Zat yang tak pernah bosan mendengar desisan keluh (para hamba)

****

أذقني برد عفوك وحلاوة رحمتك

adziqnii burda ‘afwika wa halaawata rohmatika

Berikan aku rasa akan sejuknya maaf-Mu dan manisnya rahmat-Mu

SEKELUMIT KETERANGAN
Begitulah diantara doa-doanya Nabi Khidhir as. Nabi Khidhir as. adalah sosok yang diperselisihkan ulama dari sejak dahulu mengenai apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal. Sebagian ulama mengatakan masih hidup dan sebagian yang lain mengatakan sudah meninggal. Adapun nama asli beliau adalah Balya Ibnu Malkan. Bagi yang meyakini beliau masih hidup maka beliau mengikuti syariat Muhammad Saw. Dan, siapa pun nabinya yang hidup setelah Muhammad Saw., dia harus mengikuti syariat Muhammad Saw. Termasuk Isa as. kelak ketika turun ke dunia untuk menumpas Dajjal.

Hampir semua doa Nabi Khidhir as. yang tertuturkan dalam riwayat, berisikan pujian dan panggilan pada Allah Swt. melalui Asma-asma-Nya yang Agung. Dan, dengan bahasa Arab yang tua, atau bahkan dengan bahasa Ibrani. Seringkali Nabi Khidhir tidak meminta dengan sharih (jelas), beliau hanya meminta dengan sindiran saja. Ketika beliau merasa kesepian dan terasing maka menyeru, “Ya shaahiba kulli ghariib (wahai Zat yang menemani siapa saja yang terasing).” Ini tiada lain menunjukkan betapa tinggi makrifat beliau pada Allah Swt. sehingga malu, sungkan, kikuk, untuk meminta terang-terangan pada-Nya. Seolah dirinya tak layak meminta apapun, selain hanya memuji-Nya.

Tiada anugerah yang layak kita tuntut pada Allah Swt. selain ampunan-Nya. Maka istighfar, tobat, dan penyesalan adalah kunci utama dalam setiap doa. Semua doa hendaknya diawali dengan istighfar. Hanya itu yang sejatinya layak kita mintakan pada-Nya.