SEJARAH BANGSA ARAB

by KONSULTASI~Haji&Umroh

DIPRESENTASIKAN PADA MATA KULIAH ILMU QIRAAT; INSTITUTE ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

DOSEN: DR. KH. AHSIN SAKHO MUHAMMAD

PENDAHULUAN

Sebelum membahas lebih dalam tentang sejarah bangsa Arab, ada hal penting yang perlu kita ketahui yakni tentang terminologi budaya yang mereka gunakan untuk mengelompokkan masyarakat sesuai nasab. Sebagaimana yang kita ketahui, bangsa Arab adalah bangsa yang paling teliti dan paling jelas riwayat nasabnya dibanding bangsa-bangsa lain. Hal itu karena, bangsa Arab sangat menjunjung tinggi darah dan nilai-nilai kesukuan. Bagi sebagian orang mungkin mengetahui pengelompokan nasab bangsa Arab tidaklah penting, tapi bagi yang ingin mengetahui sejarah dan perkembangan bangsa Arab, ini adalah hal yang sangat penting. Bahkan, pohon nasab (syajarah al-ansâb) merupakan pintu utama untuk mengetahui produk-produk budaya dan peradaban bangsa Arab. Jadi, dalam mengkaji bangsa Arab, kita tidak bisa memisahkan antara nasab dan masyarakat. Termasuk ketika kita mengkaji dialek-dialek mereka yang kemudian memengaruhi bacaan Al-Qur’an.

Di Arab, ada istilah khusus untuk setiap kelompok masyarakat berdasarkan nasabnya. Adapun urutannya—berdasarkan nenek moyang teratas mereka—menurut kebanyakan ulama adalah sebagai berikut, syu’b, qabîlah, ‘imârah, bathn, fakhdz, dan terakhir fshîlah. Syu’b adalah nasab terjauh seperti Qahthan dan ‘Adnan. Sedangkan contoh qabîlah adalah Rabi’ah, Iyad dan Mudhar. Quraisy dan Kinanah adalah ‘imârah. Bani Abdu Manaf, Bani Makhzum, Bani Hasyim, Bani Umayyah adalah bathn. Sedangkan, fashîlah adalah Bani Abu Thalib dan Bani Al-‘Abbas. Ini adalah pembagian atau pengelompokan masyarakat Arab berdasarkan nasab yang paling masyhur. Beberapa ulama lain seperti An-Nuwairi menambahkan jidzm dan jumhur sebelum syu’b. Sedangkan, Nisywan ibn Sa’d Al-Humairi menambahkan jail sebelum fashîlah.[1]

Dalam perkembangan sejarahnya, pembagian nasab bangsa Arab menjadi syu’b, qabîlah dan seterusnya ini, memudahkan mereka untuk membagi wilayah kekuasaan. Pembagian nasab seperti itu juga memudahkan mereka dalam mengorganisir massa. Hal itu karena, dengan ikatan darah dan kekeluargaan, individu-individu yang ada dalam qabîlah lebih solid dan setia menjaga persatuan. Semua itu, pada akhirnya menjadi sistem yang efektif bagi mereka untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat.

Bagi pengkaji sendiri, manfaat mengetahui nasab bangsa Arab adalah untuk memudahkan pelacakan sebaran bangsa Arab itu sendiri. Baik itu, penyebaran dalam arti imigrasi ke wilayah lain—mengingat sejarah mencatat bahwa mayoritas bangsa Arab hidup nomaden yakni berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain demi mendapat fasilitas hidup dan keamanan—maupun dalam arti penyebaran keturunan.

Setidaknya, makalah ini dipresentasikan untuk menjawab pertanyaan seperti, “Siapa yang benar-benar bangsa Arab sejati?”, “Dari mana bangsa Arab terbentuk?”, “Bagaimana sejarah dari bahasa mereka?”, “Apakah Mekah kota kelahiran bangsa Arab atau bukan?”, dan lain sebagainya. Berikut ini pemaparannya:

ASAL MULA NAMA ARAB

Nama Arab memiliki keterkaitan dengan nama nenek moyang bangsa Qahthaniah yakni Ya’rub ibn Qahthan. Dia adalah orang yang pertama kali berbicara bahasa Arab dari bangsa Arab Al-Baqiyah.[2] Sebagian pendapat mengatakan bahwa Arab berasal dari kata kerja“yu’rab” yang artinya fasih. Jadi, Arab adalah bangsa yang memiliki lisan fasih. Atau, pendapat lain mengatakan bahwa nama Arab diambil dari nama negeri bangsa tersebut yakni Al-‘Arabat jamak dari ‘Irbah yang maksudnya adalah Mekah.[3] Dan, masih ada beberapa lagi versi lain yang menjelaskan mengenai asal mula nama Arab. Tapi, pendapat pertama itulah yang paling kuat yakni berasal dan nama Ya’rub ibn Qahthan. Ini sangat beralasan, mengingat Ya’rub adalah orang yang pertama berkata atau berbicara dengan bahasa Arab. Sebagaimana yang kita ketahui dalam tradisi Arab, mereka suka menamai sesuatu itu dengan mengaitkan pada orang yang menjadi pencetusnya. Tempat atau wilayah saja, mereka menamakannya dengan orang yang pertama tinggal atau suku yang paling dominan. Yatsrib misalnya, atau Hadhramaut, Yaman, dan Oman, semua itu adalah nama-nama orang yang pertama kali menempati atau membuka (babat) wilayah tersebut. Begitu juga ketika mereka menamai bahasa atau bangsa mereka dengan Arab, itu tidak lain adalah karena nenek moyang mereka bernama Ya’rub ibn Qahthan.

NASAB BANGSA ARAB

Dilihat dari nasabnya ke atas, bangsa Arab terbagi menjadi tiga yakni Arab Al-Baidah, Arab Al-‘Aribah, dan Arab Al-Musta’rabah.[4] Atau, pembagian lain—seperti yang dilakukan Ath-Thabari—menyebutkan bahwa Arab terbagi dua yakni Arab Al-Baidah dan Arab Al-Baqiyah. Selanjutnya, Arab Al-Baqiyah terbagi dua yakni Arab Al-‘Aribah dan Arab Al-Musta’rabah.[5] Pendapat lain mengatakan bahwa Arab terbagi dua yakni Arab Al-‘Aribah dan Arab Al-Musta’rabah. Dalam pembagian ini, Arab Al-Baidah termasuk Arab Al-‘Aribah. Tapi yang jelas, semua pembagian ini pada hakikatnya adalah sama. Satu sama lain tidak saling bertentangan.

AdapunArab Al-Baidah sendiri adalah ‘Ad, Tsamud, Thasmin, Jadis, Umaima, Jasim, ‘Abil, ‘Abd Dhakm, Jurhum Al-Ula, ‘Amaliq, dan Hadhuran (ash-hâb ar-rass).[6] Semua itu pada akhirnya berinduk pada Iram yakni kaum yang disebut dalam Al-Qur’an, Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,” (QS. Al-Fajr [89]: 6-7). Iram sendiri memiliki banyak anak di antaranya adalah, ‘Ush, Jatsir, Katsir, Ghatsir, Huwil, Hul, dan Masy.[7]

Mereka adalah kaum terdahulu bangsa Arab. Saking tuanya usia kaum-kaum itu hingga ahli sejarah pun susah untuk meneliti dan memaparkan kembali secara utuh. Apalagi, banyak sejarawan menyebut bahwa mereka adalah kaum yang telah lenyap (halâk). Allah swt. juga telah berfirman, Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. (QS. Ibrâhim [14]: 9)

Orang-orang Arab Jahiliah bahkan seringkali menyebut sesuatu yang muncul lebih awal dengan sebutan (عادي) atau âdy. Jika mendapati tradisi atau budaya yang tidak diketahui pencetusnya, mereka menyebutnya (عادية) atau ‘âdiyah. Jika melihat bangunan yang sangat tua, mereka juga akan bilang, binâ’ ‘âdy. Dan, berikut ini penjelasan singkat mengenai masing-masing bangsa Arab tersebut:

  • A.    Arab Al-Baidah
    1. 1.      ‘Ad

Mereka adalah kaum yang lahir darinya seorang nabi bernama Hud as. Allah swt. berfirman,

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS. Al-A’râf [7]: 65)

أَلَا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ أَلَا بُعْدًا لِعَادٍ قَوْمِ هُودٍ

Ingatlah, kaum Ad itu ingkar kepada Tuhan mereka. Sungguh, binasalah kaum Ad, umat Hud itu, (QS. Hûd [11]: 60)

Semua kaum ‘Ad mendapat azab dari Allah dan dibinasakan karena ingkar pada seruan Nabi Hud as. Hanya orang-orang yang beriman pada Hud as. saja yang selamat hingga kemudian melahirkan generasi dan keturunan ‘Ad. Di antara orang-orang yang beriman pada Hud as. adalah Qîl, Nu’aim, Jalhamah, Luqman ibn ‘Ad dan Martsad ibn Sa’d.[8] Mereka kemudian eksodus keluar dari kota Iram menuju Tanah Arab, tepatnya di kota bernama Asy-Syahar. Nabi Hud as. sendiri makamnya ada di Hadhramaut.[9]

2.      Luqman

Beberapa sejarawan berbeda pendapat mengenai sosok Luqman ini. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah Luqman yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Tapi, sejarawan lain mengatakan bahwa Luqman ibn ‘Ad yang dimaksud sebagai Arab Al-Baidah ini bukanlah Luqman yang disebut dalam Al-Qur’an. Menurut Ats-Tsa’alabi, Luqman yang ada dalam Al-Qur’an adalah Luqman ibn Nahur saudara kandung Azar, ayahnya Nabi Ibrahim as.[10] Yang jelas, Luqman ibn ‘Ad ini adalah generasi kedua kaum ‘Ad yang dibinasakan Allah. Artinya, dari Luqman ibn ‘Ad ini kemudian lahir bangsa ‘Ad kedua.

3.  Tsamud

Nama Tsamud ini, sering disebut dalam Al-Qur’an bersamaan dengan nama ‘Ad. Biasanya, ia disebut setelah ‘Ad, tapi ada satu ayat yang menyebutnya lebih dahulu daripada ‘Ad yakni,

كَذَّبَتْ ثَمُودُ وَعَادٌ بِالْقَارِعَةِ

“Kaum Samud, dan Ad telah mendustakan hari Kiamat.” (QS. Al-Hâqqah [69]: 4)

Nasabnya Tsamud adalah Tsamud ibn Jatsir ibn Katsir ibn Iram ibn Sam ibn Nuh as.[11] Mereka ketika itu tinggal di Hijaz, di daerah Daumatu Al-Jandal dan Al-Hijr.[12] Letak Al-Hijr adalah antara Syam dan Hijaz.[13]   

4.      Thasmin dan Jadis

Thasmin ibn Lawadzan ibn Iram adalah kaum yang sulit diungkap dengan jelas oleh sejarawan karena kurangnya referensi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Thasmin sebenarnya tidak ada. Namun, sebagian besar sejarawan sepakat bahwa Thasmin dan Jadis adalah bangsa Arab Al-Baidah yang pernah tinggal di Tanah Arab. Thasmin dan Jadis ini dahulu tinggal di Al-Yamamah.[14]

5.      Umaima

Mereka tinggal di tempat bernama Ardh Ar-Raml, tepatnya antara Asy-Syahar dan Al-Yamamah.[15] Atau, menurut Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Umaima tinggal di Persia dan semua bangsa Persia adalah keturunan Umaima.[16] Umaima dan Thasmin adalah orang-orang terdahulu yang sudah menggunakan bahasa Arab.[17] Begitu juga kaum-kaum lain dari bangsa Arab Al-Baidah. Hanya saja, seperti Arab Al-Baidah lainnya, Umaima ini juga punah karena diterjang badai.[18] Hanya sedikit yang tetap hidup, mereka adalah kaum baru yang kemudian disebut dengan An-Nasnâs.[19]

6.      ‘Abîl

‘Abîl ini, dalam Târîkh Ibn Khaldun disebut sebagai saudara kandung ‘Ad ibn ‘Ush. Mereka tinggal di Juhfah, antara Mekah dan Madinah. Mereka kemudian punah karena tertimpa bencana banjir bandang.[20] Sebelumnya mereka tinggal di Madinah. Tapi, mereka diusir oleh kaum Al-‘Amaliq.[21] ‘Abîl sendiri adalah nenek moyang Yatsrib ibn Faniyah yang kemudian mendirikan kota yang sekarang kita sebut dengan Madinah.[22]

7.      Jurhum Al-Ûlâ

Perlu diketahui bahwa Jurhum Al-Ûlâ ini berbeda dengan Jurhum yang menjadi besan Isma’il as. Jurhum yang menjadi besan Isma’il as. adalah Jurhum Ats-Tsâniyah.[23] Jurhum Al-Ûlâ adalah Arab Al-Baidah yang memiliki nasib sama dengan Arab Al-Baidah yang lain yakni punah dari muka bumi. Mereka hidup di zaman ‘Ad, Tsamud dan ‘Amaliq.

Sedangkan Jurhum Ats-Tsaniyah adalah saudara Ya’rub Al-Qahthani. Ya’rub Al-Qahthani tinggal di Yaman, sedangkan Jurhum Al-Qahthani tinggal di Hijaz.[24] Para sejarawan berpendapat bahwa mereka tinggal di Mekah.[25] Tapi, baik Jurhum Al-Ûlâ maupun Jurhum Ats-Tsaniyah, mereka sama-sama bangsa yang berbahasa Arab.

8.      ‘Amâliq

Ibunya ‘Amaliq bernama Jalhamah Ibnatu Al-Khaibari. Menurut Ath-Thabari, Jalhamah termasuk salah satu dari 70 orang yang beriman pada Hud as. yang eksodus dari ‘Ad sebelum kaumnya ‘Ad ditimpa azab dan halâk.[26]

Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ‘Amaliq ini sama dengan Jurhum yakni terbagi dua, ada ‘Amaliq Al-Ûlâ dan ada ‘Amaliq Ats-Tsaniyah. Amaliq Al-Ûlâ adalah anak dari Jalhamah Ibnatu Al-Khaibari seperti yang dijelaskan Ath-Thabari. Mereka tinggal di tempat yang letaknya antara Kan’an dan Mesir.[27] Dan, istilah ‘Amaliq Al-Ûlâ ini sebenarnya sudah disinggung oleh Al-Hamdani dalam kitabnya, Al-Iklîl.[28] Menurut Ibnu Qutaibah, sebagian dari mereka tinggal di Mekah dan sebagian di Syam.[29]

9.      Hadhuran

Mereka juga disebut dengan Ashhabu Ar-Rass karena tinggal di daerah bernama Ar-Rass. Ada seorang nabi yang diutus pada kaum itu, beliau adalah Syu’aib ibn Dzi Mahra’.[30] Mereka adalah kaum yang membunuh nabi dan tinggal di Yaman.[31]

Itulah biografi singkat Arab Al-Baidah. Mereka adalah bangsa Arab dan berbahasa Arab. Mereka berkali-kali mendapat azab karena kelalaian dan kesesatan yang mereka lakukan. Kebanyakan azab diturunkan kepada mereka adalah karena tidak mentaati seruan nabi-nabi dan menyembah berhala. Seperti namanya al-bâidah atau al-hâlikah yang berarti lenyap. Namun, mereka tidak berarti punah sama sekali. Ada beberapa di antara mereka yang hidup dan kemudian berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Di wilayah barunya itu, mereka kemudian melahirkan generasi baru yang tentunya lebih baik—setelah belajar pada masa lalu mereka. Di wilayah barunya itu juga, di antara mereka ada yang kemudian dominan meski sebagai pendatang dan ada pula yang diusir.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyebaran mereka di Tanah Arab kami menyajikan peta wilayah pendudukan kabilah-kabilah Arab Al-Baidah. Meskipun tidak lengkap, tetapi dengan peta ini setidaknya ada sedikit gambaran kongkret tentang wilayah dan keberadaan mereka di Tanah Arab:

  • B.     Arab Al-‘Aribah atau Al-Qahthaniah

Arab Al-‘Aribah adalah bangsa Arab asli kedua yang berbahasa Arab setelah Arab Al-Baidah yang punah dari muka bumi. Menurut sejarawan mereka bisa berbahasa Arab dari Arab Al-Baidah.[32] Arab Al-‘Aribah pada dasarnya adalah keturunan dari Qahthan ibn ‘Abir ibn Salikh ibn Arfakhsyad ibn Sam ibn Nuh as. Tapi, sebagian orang ada yang menjadikan Qahthan ini sebagai keturunan Ismail as. dan sejarawan tidak membenarkan hal itu. Hanya saja sejarawan memaklumi bahwa itu terjadi karena ingin dianggap bahwa di antara bangsa Qahthan ada yang menjadi nabi.

Di antara keturunan Qahthan ini yang masyhur adalah Ya’rub, Hadhramaut, ‘Amman, dan Jurhum Ats-Tsaniyah.[33] Ya’rub menetap di Yaman, Hadhramaut tinggal di tempat yang sekarang bernama Hadhramaut, Amman tinggal di wilayah yang sekarang juga dinamai Amman dan Jurhum Ats-Tsaniyah menetap di Hijaz.[34]

Qabilah Jurhum Ats-Tsaniyah itulah yang kemudian mempersatukan dua bangsa yakni antara Qahthaniyah dan ‘Adnaniyah. Nenek moyang ‘Adnaniyah yang awalnya menggunakan bahasa Ibrani, akhirnya belajar bahasa Arab melalui suku Jurhum Ats-Tsaniyah ini. Peristiwa percampuran dua bangsa itu dimulai ketika Ismail as. tumbuh dewasa dan menikah dengan salah satu putri pemimpin suku Jurhum yakni Ri’lah binti Madhadh ibn ‘Amru Al-Jurhumi. Dari pernikahan keduanya lahir 12 anak yakni Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi’, Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.[35]

C.    Arab Al-Musta’rabah atau Al-‘Adnaniah

Bangsa Arab Al-Musta’rabah adalah keturunan Ismail as. atau sering disebut sebagai ‘Adnaniyah. Mereka adalah bangsa dari keturunan ‘Adnan, Nazar, dan Ma’add. Disebut dengan Al-Musta’rabah karena mereka berafiliasi dengan Arab Al-‘Aribah dengan cara pernikahan.[36] Pernikahan pertama kali yang mereka adakan dengan Arab Al-‘Aribah adalah antara Ismail as. dan Ri’lah binti Madhadh ibn ‘Amru Al-Jurhumi yang kemudian melahirkan 12 anak. Dua anak yang paling populer dan menghasilkan generasi terbanyak adalah Nabit dan Qidar.

Mengenai nasab Arab Al-Musta’rabah ini, sejarawan berbeda pendapat satu sama lain. Bahkan, perbedaan mereka sangat tajam dan banyak. Hingga dalam menyebut nama orang saja, sejarawan berbeda antara satu dengan yang lain. Menariknya, perbedaan semacam ini tidak ada di nasab Qahthaniah. Tapi, sejarawan Arab generasi belakang memaklumi hal tersebut. Mengingat Arab Al-Musta’rabah ini awalnya berbahasa Ibrani—sedangkan Arab Al-‘Aribah memang dari awal adalah nenek moyang bangsa Arab yanag asli—sehingga perbedaan bahasa dalam menyebut nama adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, tetap ada penyebutan nama yang benar.

Untuk menyelesaikan polemik antara sejarawan ini kuncinya adalah yang penting urutan nasab sampai Ma’ad ibn ‘Adnan ini benar. Sebab, sampai di Ma’ad ibn ‘Adnan ini sejarawan tidak berbeda dalam penyebutan nama dan urutan nasabnya. Adapun ‘Adnan ke atas dengan urutan bagaimanapun dan penyebutan nama bagaimanapun, intinya berhenti di Isma’il ibn Ibrahim as. Menurut Ibnu ‘Asakir dan Ibn Sa’d, Nabi saw. sendiri tidak pernah melanjutkan nasabnya melebihi Ma’ad ibn ‘Adnan. Setiap kali sampai di Ma’ad ibn ‘Adnan beliau berhenti dan berkata, “Orang-orang ahli nasab itu banyak yang berbohong (dengan nasab yang mereka buat hingga sampai pada Adam as.[37]) kemudian membaca ayat (yang artinya sebagai) berikut, Serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum) itu.” Lalu, bagaimana kisah terjadinya musta’rabah itu? Berikut ini kisahnya:

C.1. Kisah Lahirnya Arab Al-Musta’rabah 

Nabi Ibrahim awalnya tumbuh dewasa di negeri Irak. Ayahnya adalah seorang pengrajin kayu yang ahli membuat patung yang ketika itu menjadi sesembahan masyarakat di sana. Tapi, meski Ibrahim sering membantu sang ayah mengukir patung-patung sesembahan, ia tidak tertarik untuk menyembahnya. Hingga ketika beranjak dewasa, Nabi Ibrahim menyelinap ke dalamrumah ibadah kaumnya dan menghancurkan semua patung yang ada di dalamnya, kecuali patung yang paling besar. Ketika ia ditanya penduduk negeri tersebut, “Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 62-63)

Para penyembah berhala itu pun marah mendengar jawaban Ibrahim. Lalu, menghukum Ibrahim dan membakarnya di dalam api unggun yang besar. Tetapi, Allah swt. menjadikan api tersebut dingin dan Dia menyelamatkan Nabi Ibrahim. Setelah itu, Nabi Ibrahim pun pergi menyelamatkan diri ke Palestina bersama istrinya Sarah.

Tidak lama kemudian, Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanannya ke Mesir yang ketika itu diperintah oleh raja-raja Haksus (‘Amaliq). Di antara raja-raja itu ada yang memiliki kebiasaan merampas istri-istri yang cantik setelah terlebih dahulu membunuh suami mereka. Oleh karena itu, Ibrahim as. mengaku pada orang-orang bahwa Sarah adalah saudara perempuannya dan akhirnya ia selamat dari pembunuhan. Tapi, sang raja tetap mengambil Sarah dari Ibrahim. Hingga suatu ketika datanglah pertolongan Allah pada Ibrahim. Sang raja bermimpi bahwa Sarah tiada lain adalah istri Ibrahim. Tidak seperti biasanya, sang raja tiba-tiba menyesali perbuatannya dan mengembalikan Sarah pada Ibrahim. Bahkan, sang raja memberi Ibrahim as. banyak hadiah, termasuk di antara hadiahnya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar.[38]

Sarah yang tak kunjung melahirkan seorang anak, didorong oleh naluri keibuannya akhirnya meminta Ibrahim untuk menggauli Hajar agar mendapatkan seorang anak yang dapat membuatnya bahagia. Dari Hajar lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Tidak lama kemudian Sarah pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ishak.[39]

Ibrahim mencurahkan kasih sayang yang sama pada kedua putranya. Hal ini membuat Sarah marah karena suaminya memperlakukan sama antara anak seorang budak dengan anaknya sebagai wanita merdeka. Sarah mendesak Ibrahim agar membawa Hajar pergi jauh darinya. Maka Ibrahim pergi meninggalkan Palestina menuju Hijaz. Akhirnya, sampailah ia di sebuah lembah dan menetap di sana. Lembah itu tandus dan tidak ditumbuhi tanaman. Lembah itu biasa digunakan kafilah sebagai tempat istirahat dalam perjalanan dagang mereka. Ini seperti penjelasan Imam Ath-Thabari yang berkata, “Dan Allah mewahyukan kepada Ibrahim untuk pergi menuju Mekah. Saat itu, di Mekah tidak ada rumah (sama sekali).”[40] Di sanalah, Ibrahim meninggalkan putranya yakni Ismail dan ibunya, Hajar, dengan membekali mereka sedikit makanan dan minuman. Sedangkan, ia kembali ke Palestina, tempat Sarah dan Ishak tinggal.

Al-Mas’udi berkata, “Ketika Ibrahim meninggalkan putranya, Ismail, dan ibunya, Hajar, di Mekah, ia menyerahkan nasib keduanya pada sang Maha Pencipta. Ia mengikuti petunjuk wahyu dari Allah bahwasanya ia menemukan sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman dan tempat itu adalah tanah tinggi yang berwarna merah. Maka Ibrahim menyuruh Hajar untuk membuat kemah dan menetap di sana bersama Ismail.”[41]

Ketika bekal yang diberikan Ibrahim habis dan tangisan Ismail semakin keras, Hajar khawatir putranya akan mati kehausan dan kelaparan. Ia pun pergi mencari air, berlari antara Shafa dan Marwa sampai 7 kali bolak-balik. Akhirnya, ia kembali melihat kondisi Ismail yang sedang menggerak-gerakkan kakinya di tanah. Tiba-tiba, air memancar dan muncullah sumur Zam-zam.

Imam Ath-Thabari mengatakan bahwa ketika itu, Allah swt. mengutus malaikat Jibril untuk memancarkan sumur tersebut sekaligus memberi kabar gembira pada Hajar bahwa kelak Nabi Ibrahim akan kembali menemui mereka guna membangun Ka’bah. Imam Thabari berkata, “Jibril berkata kepada Hajar, ‘Jangan takut penduduk negeri ini akan kekurangan air. Sebab, sumur ini adalah mata air untuk minum tamu-tamu Allah. Dan, bapak anak ini (Ibrahim) akan datang dan mereka berdua (Ibrahim dan Ismail) akan membangun baitullâh.”[42]

Suatu ketika, kabilah Jurhum Ats-Tsaniyah melintasi lembah tersebut. Mereka heran melihat burung-burung terbang bergerombol di langit, tepat di atas lokasi tersebut. Itu pertanda bahwa di daerah tersebut ada air. Mereka heran karena sering melewati lokasi tersebut dan itu hanya daerah gersang dan tandus. Lalu, kabilah itu melihat lokasi dan mereka bertemu dengan Hajar bersama putranya. Akhirnya, mereka pun minta izin untuk tinggal di dekat sumur tersebut pada Hajar. Hajar pun mengizinkan.[43]

Dari situ, kemudian Nabi Ismail tumbuh dewasa di tengah-tengah kabilah Jurhum Ats-Tsaniyah. Dari mereka ia belajar Bahasa Arab. Al-Mas’udi berkata, “Ketika Hajar mengizinkan kabilah Jurhum (Ats-Tsaniyah) untuk tinggal, mereka lalu menemui anggota keluarga yang masih di belakang dan menceritakan pada mereka bahwa ada sumber air. Anggota keluarga mereka pun menyusul dan tinggal di lembah tersebut tanpa khawatir kekurangan air. Lembah itu, kemudian berubah menjadi daerah yang penuh dengan gairah kehidupan dan bersinar karena cahaya kenabian. Lokasi itu, kini adalah baitullâh al-haram. Di sana, Nabi Ismail tumbuh dewasa dan berbicara dengan bahasa Arab, bahasa yang berbeda dengan bahasa bapaknya (Ibrani).”[44] Dari sinilah generasi Arab Al-Musta’rabah bermula. Mereka adalah keturunan Ismail as. ke bawah, termasuk di antaranya adalah Nabi Muhammad saw.

Meskipun Arab Al-Musta’rabah ini bukan Arab sejati, namun dari Ismail as. inilah bahasa Arab yang fasih bermula.[45] Itu artinya, bahasa Arab dari Arab Qahthaniah belum mapan, baru kemudian disempurnakan oleh bangsa ‘Adnaniah. Mereka (Qahthaniah dan ‘Adnaniah) dua bangsa yang menjadi pionir kelahiran bangsa Arab yang saling menyempurnakan. Meski satunya asli dan satunya campuran, tetapi keduanya adalah induk bangsa Arab masa kini.

Selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman terhadap nasab-nasab bangsa Arab di atas, berikut kami sajikan bagan-bagan pohon nasab. Mulai dari pohon nasab Al-Qahthaniah, ‘Adnaninah dan Quraisy:

Pohon Nasab Qahthaniah

Image

Pohon Nasab ‘Adnaniah

Image

 Pohon Nasab Quraisy

Image

NEGERI-NEGERI ARAB

Berdasarkan wilayah kekuasaan Arab terbagi menjadi tiga bagian yakni Arab As-Sa’idah (Arabia Felix), Arab Al-Hijriah (Arabia Petreae) dan Arab Ash-Shahrawiah (Arabia Deserta).[46] Ini adalah pembagian Tanah Arab berdasarkan kekuasaan politik yang batas-batasnya berubah-ubah. Meski berubah-ubah, tapi ada batasan yang tetap bahwa Arab As-Sa’idah adalah adalah Saudi Arabia, Yaman, Oman, Qatar dan Emirat Arab. Sedangkan, Arab Ash-Shahrawiyah adalah Irak. Adapun Arab Al-Hijriah adalah Jordan.

Adapun Jazirah Arab sendiri yakni Arab As-Sa’idah terbagi menjadi lima wilayah yaitu Tihamah, Yaman, Al-‘Arudh, Al-Yamamah dan Najd (Qalb Al-Jazirah atau The Hearth of Arabia).[47] Penjelasan mengenai pembagian wilayah ini akan lebih mudah dengan dibantu peta di atas.

SEJARAH BAHASA ARAB

Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat kaya ragam. Bahkan jika dirunut ke belakang, bahasa Arab memiliki hubungan dan percampuran dengan bahasa-bahasa kuno non-Arab. Tapi, hampir semua sejarawan sepakat bahwa bahasa Arab yang ada saat ini, pertama kali diucapkan oleh Ya’rub ibn Faligh ibn Qahthan. Adapun bahasa nenek moyang Ya’rub ibn Faligh ibn Qahthan yakni dari ‘Abir hingga Sam ibn Nuh as. adalah bahasa Siryani—yang mana bahasa ini juga memiliki sejarah dan perkembangan sendiri.

Berabad-abad lamanya sebelum Ismail as. lahir, sebelum ada kota Mekah, bahasa Arab sudah berkembang di Yaman[48]—jika dilihat di peta, Yaman adalah Jazirah Arab bagian selatan. Namun, bahasa Arab sendiri memiliki perkembangan. Dahulu, di awal-awal kemunculannya bahasa Arab masih belum sempurna. Bahasa Arab mulai sempurna justru setelah terjadi percampuran dengan bangsa yang berbahasa Ibrani yakni Ismail ibn Ibrahim as.[49]

Setelah masa Ismail as., bahasa Arab terus mengalami perkembangan dan di sisi lain perbedaan dalam pengucapan dan tata bahasa terus bertambah. Pengucapan orang-orang Arab bagian selatan berbeda dengan berbeda dengan orang-orang Arab bagian barat. Perbedaan bahasa mereka bahkan jauh dari bahasa standar Al-Qur’an.[50] Ketika itu, memang belum ada kesepakatan bersama antara tokoh-tokoh bahasa Arab untuk menciptakan satu kaidah standar bagi bahasa Arab. Bahasa Arab justru menjadi lebih sempurna dan tidak banyak mengalami perubahan setelah Al-Qur’an turun. Bisa dikatakan, Al-Qur’an adalah kitab suci yang menggugah dan menyinergikan bangsa Arab untuk membuat satu kaidah utuh tentang bahasa Arab (bilisânin ‘arabiyim mubîn). Sebelum Al-Qur’an turun, sebelum lahir ilmu Nahwu, bahasa Arab berkembang sendiri-sendiri di setiap wilayah. Hingga menurut Imam Ath-Thabari, saking banyaknya ragam, susah untuk menghitung dialek bahasa Arab.[51] Bahkan setelah bahasa Arab mapan pun masih terjadi perbedaan, namun tidak lepas dari 7 bentuk, pertama, perbedaan lafadz dengan makna sama seperti antara العهنdan الصوف. Kedua, perbedaan huruf seperti التابوتdan التابوه. Ketiga, taqdîm dan ta’khîr dalam kalimat seperti  سلب زيد ثوبه dengan سلب ثوب زيد. Keempat, bertambah atau berkurang huruf seperti فَلا تَكُ . Kelima, perbedaan harakat. Keenam, perbedaan i’rab. Ketujuh, at-tafkhîm dan al-imâlah.[52] Berikut ini bagan yang menggambarkan posisi bahasa Arab di antara bahasa-bahasa yang ada di dunia:

http://www.google.co.id/imgres?q=%D8%A7%D9%84%D9%84%D8%BA%D8%A7%D8%AA+%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%A7%D9%85%D9%8A%D8%A9&um=1&hl=id&sa=N&tbo=d&biw=1241&bih=606&tbm=isch&tbnid=LOIGgRIcNq8P0M:&imgrefurl=http://www.meltha.dk/page-2.htm&docid=vXdIDwIA7VobIM&imgurl=http://www.meltha.dk/semitic1.JPG&w=645&h=413&ei=FybcUOLwEMe8rAemlYCYDw&zoom=1&iact=rc&sig=115986640770259294019&page=1&tbnh=146&tbnw=226&start=0&ndsp=19&ved=1t:429,r:4,s:0,i:96&tx=96&ty=71

Dari bagan di atas kita dapat memetik kesimpulan bahwa Arab adalah salah satu dari rumpun bahasa Semit (Samiyah). Bahasa Semit sendiri menurut beberapa sejarawan merupakan cabang dari bahasa Afro-Asiatik. Rumpun bahasa Semit terbagi menjadi 2 yaitu, Lughât Asy-Syarqiyah dan Lughât Al-Gharbiyah. Lughât Asy-Syarqiyah adalah bahasa Akkadia yang terdiri dari bahasa Asyuria dan bahasa Babilonia. Sedangkan Lughât Al-Gharbiyah terbagi menjadi dua yaitu Al-Gharbiyah Asy-Syimaliyah dan Al-Gharbiyah Al-Janubiyah. Al-Gharbiyah Asy-Syimaliyah terbagi lagi menjadi dua yaitu Al-Iramiyah—termasuk di dalamnya bahasa Siryaniyah—dan Al-Kan’aniyah. Sedangkan, Al-Gharbiyah Al-Janubiyah terbagi menjadi dua juga yakni Al-Atsbubiyah dan Al-‘Arabiyah. Di sinilah letak bahasa Arab di antara bahasa-bahasa Semit atau Samiyah.[53]

Selanjutnya, bahasa Arab terbagi menjadi dua yaitu bahasa Arab Selatan dan bahasa Arab Utara. Bahasa Arab Selatan disebut juga bahasa Himyaria yang dipakai di Yaman dan Jazirah Arab Tenggara. Selain Bahasa Himyaria yang termasuk Bahasa Arab Selatan adalah Bahasa Saba’ia, Ma’inia dan Qatbania. Sedangkan bahasa Arab Utara merupakan bahasa wilayah tengah Jazirah Arab dan Timur Laut. Dahulunya mereka menggunakan Bahasa Arab Al-Baidah yang sudah punah dan kini mereka menggunakan bahasa Arab Fushhâ yang hingga kini dan masa-masa yang akan datang tetap dipakai karena Al-Qur’an turun dan menggunakan bahasa ini. Tapi, bahasa Arab Fushhâ sendiri mengalami penyebaran yang demikian luas dengan dialek yang beranega ragam.

Terlepas dari berbagai macam perbedaan pendapat sejarawan mengenai bahasa Arab, yang jelas dia adalah bahasa pertama yang digunakan Adam as. Kemudian, seiring berjalannya waktu, bahasa Arab mengalami perubahan. Perubahan pertama adalah ke bahasa Siryani. Bahkan Al-Mas’udi berpendapat bahwa perbedaan antara bahasa Arab yang digunakan Adam dengan bahasa Siryani sangatlah sedikit.[54]

RUTE DAGANG BANGSA ARAB

Dilihat dari sisi ekonomi, Arab adalah negara yang memiliki letak geografis sangat strategis. Saking, strategisnya Jazirah Arab banyak raja-raja Romawi yang ingin menguasa Arab. Dan, memang sejak zaman kuno Arab adalah pusat perdagangan internasional. Dulu di zaman kaum ‘Ad, rub’ Al-Khali adalah pusat perdagangan di Tanah Arab. Ia ada di tengah-tengah negara-negara besar dengan peradaban maju. Di timur laut ada Persia, di barat laut Romawi dan Mesir, di barat daya, seberang lautan adalah Ethiopia, dan di selatan ada Samudera Hindia.

Sejak zaman dahulu Arab adalah jalur utama perniagaan antara dua kerajaan besar yaitu Romawi dan Persia. Ada dua jalur transportasi darat perniagaan di Jazirah Arab yakni jalur timur—bermula dari Yaman dan berakhir di Irak—dan jalur barat. Orang-orang Persia dan India menggunakan jalur ini. Sesampainya di Irak mereka lantas melanjutkan perjalanan darat melewati Syam menuju Mesir. Sedangkan di jalur barat, pada pedagang akan melewati Hijaz.[55]

Pedagang yang memanfaatkan tanah Arab sebagai jalur transportasi adalah orang-orang dari Etiopia, India dan Persia. Dan, jika kita lihat peta jalur perniagaan di Tanah Arab, seolah banyak sekali lintasan-lintasan, baik dari Persia maupun dari India dan Etiopia. Mereka begitu leluasa menggunakan daratan Arab ini untuk jalur transportasi setelah sebelumnya menyeberangi samudra.

Arab adalah jalur yang memanjakan saudagar-saudagar dunia yang ingin menjajakan dagangannya ke negeri seberang. Namun, tidak berarti kondisi nyaman itu selamanya dinikmati oleh kaum pedagang. Ada saat tertentu, dimana mereka sama sekali tidak bisa memanfaatkan jalur di Tanah Arab, baik yang di barat maupun di timur. Itu tepatnya saat terjadi peperangan besar. Dalam kondisi ini, saudagar lebih banyak yang berhenti berdagang, menunggu peperangan usai.

 PENUTUP

Itulah sekilas tentang sejarah bangsa Arab. Para sejarawan sudah menulis tentang sejarah bangsa Arab dan menghabiskan berjilid-jilid kitab. Bahkan, dengan tumpukan buku mereka, seolah sejarah bangsa Arab belum terbuka sepenuhnya. Masih banyak kisah yang belum terkuak dan peristiwa yang belum kita ketahui. Jadi, bangsa Arab adalah bangsa yang sangat besar dan memiliki sejarah panjang hingga nabi-nabi terdahulu. Itu artinya, tidaklah cukup menjelaskan sejarah bangsa Arab hanya dengan makalah kecil ini. Oleh sebab itu, mohon maaf jika dalam makalah ini masih banyak kekurangan baik dari materi maupun yang lainnya. Harapan besar pemakalah, semoga tulisan ini bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf Al-Minawi, At-Taisîr Bisyarhi Al-Jâmi’ Ash-Shagîr, (Riyadh: Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, 1988)

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Târîkh Ar-Rusul wa Al-Mulûk, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1960)

______, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, (Kairo: Dar Al-Ma’ârif, t. th)

______, Jâmi’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000)

Al-Baladzuri, Al-Imam Abu Al-Hasan, Ansâb Al-Asyrâf, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996)

Al-Hamdani, Al-Iklîl, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Al-Kharbuthli, Ali Husein, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jail, 2004)

Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, (Kairo: Dar Ar-Raja’, t.th)

______, Akhbâr Az-Zamân, (Beirut: Dar Al-Andalus, 1951)

Al-‘Umari, Ibnu Fadhlilah, Masâlik Al-Abshâr fi Mamâlik Al-Amshâr, (Mesir: Dar al-Kutub, t. th)

Al-Qalqalsyandi, Ahmad ibn ‘Ali, Subh Al-A’sya fi Shina’ati Al-Insya, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1987)

Husein Muannis, Athlas Târîkh Al-Islâm, (Kairo: Az-Zahra for Arab Mass Media, 1987)

Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Ibnu Al-Jauzy, At-Tabshirah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th)

Ibnu Al-Wardi, Târîkh ibn Al-Wardi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1996)

Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnan, 1970)

______, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1988)

Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th)

Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.)

Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, (Mesir: Dar Al-Hadits, 1998)

Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, (Madinah: Dar As-Saqi, 2001)


[1] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, (Madinah: Dar As-Saqi, 2001) Jil. II. Hal. 160.

[2] Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Baladzuri, Ansâb Al-Asyrâf, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1996) Jil. I. Hal. 10.

[3] Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t. th.) Jil. I. 586-587.

[4] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 296.

[5] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Târîkh Ar-Rusul wa Al-Mulûk, (Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1960) Jil. I. Hal. 618-626.

[6] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 295.

[7] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 70.

[8] Ibnu Al-Jauzy, At-Tabshirah, Al-Majlis Al-Khamis fi Qishshati ‘Âd. jil. I. Hal. 60.

[9] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 311.

[10] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 316.

[11] Ahmad ibn ‘Ali Al-Qalqalsyandi, Subh Al-A’sya fi Shina’ati Al-Insya, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1987) Jil. I. Hal. 313.

[12] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 326.

[13] Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, jil. I. Hal. 15.

[14] Al-Mas’udi, Akhbâr Az-Zamân, (Beirut: Dar Al-Andalus, 1951) Hal. 104.

[15] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. th) Jil. I. Hal. 25.

[16] Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, hal. 6.

[17] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, jil. I. Hal. 25.

[18] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t. th) Jil. II. Hal. 8.

[19] Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi At-Târîkh, Bab Dzikru Dzurriyati Nuh ‘Alaihis Salâm, jil. I. Hal. 25.

[20] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 21.

[21] Ibnu Fadhlilah Al-‘Umari, Masâlik Al-Abshâr fi Mamâlik Al-Amshâr, (Mesir: Dar al-Kutub, t. th) Hal. 34.  

[22] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 286.

[23] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 345.

[24] Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar, Bab Mulûk Al-‘Arab Qabla Al-Islam (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnan, 1970) Jil. I. Hal. 46. Lihat juga, Ibnu Al-Wardi, Târîkh ibn Al-Wardi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1996) Jil. I. Hal. 62.

[25] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 345.

[26] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1988) Jil. I. Hal. 145.

[27] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 87.

[28] Al-Hamdani, Al-Iklîl, Bab Banu ‘Amru ibn Hamdan, hal. 2.

[29] Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Al-Ma’ârif, hal. 6.

[30] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 347.

[31] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 349.

[32] Muhammad Suhail, Târîkh Al-‘Arab Qabla Al-Islâm, (Beirut: Dar An-Nafa’is, 2009) Hal. 30.

[33] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 9.

[34] Ibnu Khaldun, Târîkh ibn Khaldûn, jil. II. Hal. 47.

[35] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 221.

[36] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. II. Hal. 26.

[37] Abdurrauf Al-Minawi, At-Taisîr Bisyarhi Al-Jâmi’ Ash-Shagîr, (Riyadh: Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, 1988) Jil. II. Hal. 471.

[38] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, (Beirut: Dar Al-Jail, 2004) Hal. 32.

[39] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, hal. 32.

[40] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, (Kairo: Dar Al-Ma’ârif, t. th) Jil. I. Hal. 179.

[41] Al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab wa Ma’âdin Al-Jauhar, (Kairo: Dar Ar-Raja’, t.th) Jil. I. Hal.  227.

[42] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 181.

[43] Ali Husein Al-Kharbuthli, Târîkh Ka’bah, hal. 34.

[44] Ath-Thabari, Târîkh Al-Umam wa Al-Mulûk, jil. I. Hal. 48.

[45] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, jil. I. Hal. 138.

[46] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 163.

[47] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 167-181.

[48] Ibnu Katsir, Al-Mukhtashar fi Akhbâr Al-Basyar, Bab Mulûk Al-‘Arab Qabla Al-Islam, jil. I. Hal. 46.

[49] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihâyah, jil. I. Hal. 138.

[50] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. XVI. Hal. 197.

[51] Ath-Thabari, Jâmi’ Al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, (Mesir: Muassasah Ar-Risâlah, 2000) Jil. I. Hal. 21.

[52] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. XVI. Hal. 203.

[53] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 225-228.

[54] Jawwad ‘Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh Al-‘Arab Qabl Al-Islâm, jil. I. Hal. 256.

[55] Husein Muannis, Athlas Târîkh Al-Islâm, (Kairo: Az-Zahra for Arab Mass Media, 1987) Hal. 383-392.