Pendahuluan
Kita selama ini mungkin sering mendengar istilah mukjizat Al-Qur’an, namun sejarahnya barangkali kita tidak semuanya tahu. Dalam makalah ini penulis ingin mencoba mengupas sedikit tentang i’jâz mulai dari definisi, polemik, dan aspek-aspek i’jâz al-Qur’ân. Semoga dengan sedikit penjelasan ini, ada hikmah dan manfaat yang bisa kita petik.
Mukjizat pada hakikatnya adalah sesuatu yang diturunkan Allah swt. pada nabi-Nya sebagai bukti akan kebenaran dia sebagai utusan Allah. Dan, sesuatu itu dinamakan mukjizat atau melemahkan karena memang manusia lemah atau tidak mampu mendatangkan yang semisalnya.[1] Di dalam, kitab Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân disebutkan bahwa ada 5 syarat utama sesuatu itu dinamakan mukjizat:
Pertama, sesuatu itu tidak ada yang mampu mewujudkannya kecuali Allah swt.
Kedua, sesuatu itu harus yang luar biasa dan bertentangan dengan adat kebiasaan atau akal sehat.
Ketiga, sosok yang mengemban mukjizat haruslah mengakui bahwa hal luarbiasa yang ia tunjukkan merupakan anugerah dari Allah swt.
Keempat, ada pengakuan dari orang yang melihat kemukjizatan tersebut.
Kelima, tidak ada seorang pun yang mampu melawan mukjizat tersebut dalam bentuk apapun.[2]
Kelima hal di atas merupakan syarat mutlak disebutnya sesuatu itu sebagai mukjizat. Jika satu saja dari kelima syarat di atas berkurang maka tidak memenuhi syarat untuk menyebut sesuatu sebagai mukjizat.
Definisi I’jâz
I’jâz berasal dari akar kata ‘ajaza, kemudian diberi awalan hamzah qatha’ menjadi a’jaza. Secara etimologi berarti lemah dan tidak mampu melakukan sesuatu. Makanya nenek-nenek dalam Al-Qur’an disebut al-‘ajûz.[3] Dan, ini semakna dengan ungkapan Qabil pada surah Al-Mâ’idah, ayat 31 berikut ini:
قَالَ يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
“Qabil berkata, ‘Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 31) [4]
Sedangkan makna i’jâz atau mu’jizat—yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesai menjadi mukjizat—secara terminologi adalah,
أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِي سَالِمٌ عَنِ الْمُعَارِضَةِ
“Sesuatu yang supernormal atau extraordinary disertai dengan tantangan (untuk mendatangkan yang semisal, yang mana tantangan itu) selamat dari tandingan (resistan).”[5]
Intinya, mukjizat adalah kejadian luar biasa yang dapat melemahkan dan mengalahkan lawan untuk membuktikan kebenaran risalah seorang nabi. Jadi, hikmah dibalik mukjizat adalah untuk mengajak suatu kaum atau umat ke jalan kebenaran dan kebahagiaan. Orang yang pertama berbicara mengenai mukjizat Al-Qur’an adalah Al-Baqilani, Ar-Rummani, Abdul Qahir, Al-Khaththabi, dan As-Sakkaki.[6] Mukjizat bisa bersifat inderawi (hissiyah) dan rasional (‘aqliyah). Kebanyakan mukjizat atas Bani Israil itu bersifat inderawi ini karena saat itu mereka adalah kaum terbelakang yang memiliki keterbatasan berpikir.[7] Sedangkan, mukjizat atas umat Nabi Muhammad saw. lebih bersifat rasional karena mereka hidup di zaman maju dan memiliki kemampuan berpikir yang kuat. Jadi, karakter mukjizat yang diturunkan selalu disesuaikan dengan kondisi umat sang nabi saat itu. Kesimpulan ini berangkat dari sabda Rasulullah saw.,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلَهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوْتِيْتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللهُ إِلَيَّ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرُهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak ada seorang pun nabi dari nabi-nabi yang ada kecuali dia diberi sesuatu yang sama (mukjizat), yang diimani manusia. Adapun mukjizat yang secara khusus diberikan padaku adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah dan aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada Hari Kiamat.’” (HR. Al-Bukhari)
Dalam konteks ini, Imam Az-Zarkasyi berkata,
فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا جَعَلَ مُعْجِزَاتِ الأَنْبِيَاءِ بِالْوَجْهِ الشَّهِيْرِ أَبْرَع مَا تَكُوْنُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ الَّذِي أَرَادَ إِظْهَارُهُ فَكَانَ السِّحْرُ فِي مُدّة مُوْسَى قَدِ انْتَهَى إِلَى غَايَتِهِ وَكَذَا الطِّبُّ فِي زَمَانِ عِيْسَى وَالْفَصَاحَةُ فِي مُدَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Allah menjadikan mu’jizat para nabi sesuai dengan bidang yang dikenal sebagai sesuatu yang paling bagus pada zaman nabi yang ingin Dia munculnkan, maka sihir pada masa Musa telah mencapai pncaknya, demikian pula kedokteran pada masa Isa, dan keindahan berbahasa pada masa Nabi Muhammad.”[8]
Tapi, pemikir-pemikir baru seperti Hassan Hanafi punya pandangan dan pemahaman yang berbeda. Menurutnya, i’jâz mengalami evolusi (tathawwur al-wahyi). Menurut Hassan Hanafi pengertian i’jâz al-qur’ân sebagai sesuatu kejadian luar biasa untuk menunjukkan kebenaran risalah Rasulullah saw. dan tidak seorang manusia pun yang mampu menandinginya, adalah pemahaman klasik. Menurutnya, Al-Qur’an adalah fakta empirik berupa susunan kalimat yang dikenal semua orang, baik yang buta huruf (ummi), yang terpelajar, ataupun yang menggunakan akal, indera dan perasaannya untuk memperoleh kepuasaan spiritual, pandangan dan kebenaran.[9]
Intinya, Hasan Hanafi ingin mengatakan bahwa fungsi i’jâz Al-Qur’an sudah tidak lagi dominan sebagai tantangan untuk mendatangkan yang semisal. Sebab, yang ditantang pun saat ini sudah tidak ada lagi yang mampu sehingga kemukjizatan Al-Qur’an dikembangkan pada aspek lain. Seperti, baru-baru ini muncul buku yang mengupas tentang kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an, kemukjizatan angka, kemukjizatan bahasa, kemukjizatan alam semesta dan lain-lain.
Artinya anggapan orang terhadap Al-Qur’an sudah berubah tidak sejumud bangsa Arab di masa Nabi Muhammad saw. Seperti yang dijelaskan dalam surah Saba’, ayat 43 berikut:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَآ إِلاَّ رَجُلٌ يُرِيدُ أَن يَصُدَّكُمْ عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَذَآ إِلآ إِفْكٌ مُّفْتَرَى وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمْ إِنْ هَذَآ إِلآ سِحْرٌ مُّبِينٌ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata, ‘Orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kamu dari apa yang disembah oleh nenek moyangmu,’ dan mereka berkata, ‘(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.’ Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran ketika kebenaran (Al-Qur’an) itu datang kepada mereka, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.’” (QS. Saba’ [34]: 43)
Jadi, seperti itulah pandangan orang-orang musyrik Mekkah terhadap Al-Qur’an ketika itu. Mengejeknya seolah ucapan para dukun. Dalam kondisi seperti ini, maka Al-Qur’an sebagai mukjizat ia menantang orang-orang kafir Quraisy, “Kalau memang itu ucapannya para dukun, apakah bisa kalian mendatangkan yang semisal Al-Qur’an, satu surah saja atau satu ayat saja?”
Di ayat yang lain, orang-orang kafir Quraisy menganggap Al-Qur’an sebagai ungkapan puitik dari seorang penyair. Berikut ini ayatnya,
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلاَمٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِئَايَةٍ كَمَآ أُرْسِلَ اْلأَوَّلُونَ
“Bahkan mereka mengatakan, ‘(Al-Qur’an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus terdahulu.’” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 5)
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa pandangan orang-orang kafir Quraisy terhadap Al-Qur’an ketika itu masih sangat klasik dan sederhana. Inilah yang kemudian mendasari pemikir-pemikir baru dari kalangan Muslim Seperti Hasan Hanafi dan Nashr Hamid Abu Zaid untuk meyakini bahwa makna mukjizat harus dikontekskan dengan kekinian sesuai dengan masyarakat yang menerimanya.
Pada dasarnya kata i’jâz (إعجاز) sendiri tidak dikenal pada masa Rasulullah saw., Sahabat dan Tabi’in. Kata ini baru populer di akhir abad ke-3 Hijriah dari kalangan Mutakallimin dalam sebuah kitab karya Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi (w. 306 H) dalam kitabnya yang tinggal nama “I’jâz Al-Qur’ân fi Nazhmihi wa Ta’lifihi”.[10] Namun demikian, secara maknawi i’jâz sudah ada sejak malaikat Jibril menyampaikan wahyu surah Al-‘Alaq, ayat 1-5 pada Rasulullah saw. Kala itu, tidak hanya Rasulullah saw. dan para sahabat saja yang mengimani kemukjizatan Al-Qur’an, tetapi juga orang-orang kafir. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).’” (QS. Fushshilat [41]: 26)
Hanya saja, posisi orang-orang kafir tidak mengimani secara hakiki hanya sebatas percaya bahwa Al-Qur’an mempunyai nilai-nilai i’jâz. Sehingga, mereka tetap berusaha menandingi atau mebuat tandingan untuk Al-Qur’an. seperti yang dijelaskan pada ayat di atas. Al-Qur’an sendiri sudah membuat tantangan secara terbuka kepada mereka seperti yang dijelaskan 2 ayat berikut ini,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْكَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 88)
Dan, tantangan ini benar-benar berhasil membuat mereka tidak berdaya. Inilah hakikat i’jâz pada masa itu. Bahkan, saking tidak mampunya orang-orang kafir itu mendatangkan yang semisal dan kemudian takut beriman mereka saling berpesan untuk meninggalkan Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan pada surah Fushshilat ayat 26 di atas. Serta ayat berikut ini,
وَقَالُوا أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً
“Dan mereka berkata, ‘(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.’” (QS. Al-Furqân [25]: 5)
Ketakutan mereka atas pengaruh Al-Qur’an tersebut selanjutnya membuat mereka bernegosiasi dengan Rasulullah saw. untuk mendatang Al-Qur’an yang lain,
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَآءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَآ أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِن تِلْقَآءِ ىنَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah kitab selain Al-Qur’an ini atau gantilah.’ Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.’” (QS. Yûnus [10]: 15)
Kiranya, rangkaian dari ayat-ayat di atas telah membuktikan bahwa secara maknawi i’jâz sudah ada sejak masa Rasululla saw. Pada perkembangan selanjutnya, i’jâz al-Qur’ân ini polemik besar setelah kafir Quraisy benar-benar tidak dapat menahan laju pengaruh Al-Qur’an. Namun, mereka tetap saja tidak berusaha menghentikan pengaruh Al-Qur’an terhadap kaumnya. Mereka lantas melakukan agitasi politik dan pencemaran nama baik terhadap Rasulullah saw. dengan menganggapnya orang gila agar kaumnya terprovokasi menolak Al-Qur’an. Mereka juga menyebut bahwa Al-Qur’an tidak lain hanyalah buku dongeng dan cerita-cerita fiktif. Seperti yang dijelaskan Al-Qur’an berikut ini,
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَآءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَذَا إِنْ هَذَآ إِلآَّ أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ
“Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu.’” (QS. Al-Anfâl [8]: 31)
Kalau dilihat dari sejarahnya yang dipaparkan dalam ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa tantangan Al-Qur’an itu muncul lebih karena keangkuhan dan kesombongan orang-orang kafir Quraisy untuk menerima wahyu Al-Qur’an. Inilah yang kemudian memunculkan lahirnya ayat-ayat tantangan atau ayat-ayat tahaddi. Menurut M. Nur Kholis Setiawan, ada 47 surah yang memuat ayat-ayat tahaddi. Semuanya dalam kategori surah Makiyah kecuali 8 surah.[11]
Polemik tentang I’jâz Al-Qur’an
Polemik I’jâz Al-Qur’an ini berlangsung di kalangan ulama bahkan hingga sekarang. Al-Baqilani menyebutkan bahwa banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu melakukan kajian tentang aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an.[12] Menurut Ibn Qutaibah (w. 276 H) polemik itu mengemuka karena istilah i’jâz sendiri muncul belakangan. Dan, semua polemik itu pada akhirnya berkutat di seputar dua aspek yakni definisi lafzhi dan ma’nawi.[13] Polemik ini terjadi sekitar abad ke-3 Hijriah, yang mana ulama satu dengan yang lain saling mempertahankan ideologi dan keyakinan mereka. Sebab, permasalahan ini menyangkut persoalan kenabian dan lain-lain—tidak sekadar i’jâz.
Di antara ulama yang membahas secara serius mengenai i’jaz adalah Ibn Qutaibah dengna karyanya “Ta’wil Musykil al-Qur’an”, Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan karyanya, “Maqalat al-Islamiyin”, Al-Jahidz dengan karyanya “Hujâj An-Nubuwwah”, dan Abu Al-Hasan Al-Khayath dengan karyanya “Al-Intishâr”. Ulama tafsir banyak juga yang mengkaji i’jâz, seperti Ath-Thabari dalam “Jâmi’ Al-Bayân, dan Abu ‘Ubaidah dalam “Majâz al-Qur’ân”. Sedangkan dari kalangan ahli bahasa seperti Al-Farra’ (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), Al-Ahfasy (w.215 H), Az-Zujaj (w. 311H), Abu Ja’far An-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.
Polemik tentang i’jâz al-Qur’ân ini paling keras terjadi di kalangan Mutakallimin. Terutama, dari kalangan Mu’tazilah. Seperti, Al-Ja’d bin Dirham yang sangat keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya. Bahkan, secara terbuka al-Ja’d bi Dirham mengingkari Al-Qur’an dan menolak beberapa kandungannya.[14] Menurutnya, keindahan sastrawi dalam Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah i’jâz karena sebenarnya manusia mampu membuat yang semisal itu, bahkan lebih indah dari Al-Qur’an sendiri. Menurut Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham, seorang pengikut paham Mu’tazilah, i’jâz al-Qur’ân sebenarnya bukan faktor internal Al-Qur’an, melainkan faktor eksternal Al-Qur’an. Artinya, kehendak Allah swt. untuk membuat orang-orang kafir lemah dan tidak berdaya membuat yang semisal Al-Qur’an, itulah yang sesungguhnya mukjizat. Ini yang kemudian diistilahkan ulama dengan ash–sharfah yakni Allah swt. menghilangkan dan mencabut pengetahuan manusia sehingga tidak mampu membuat yang semisal Al-Qur’an. Meskipun mereka itu ahli bahasa dan sastra, tetap tidak akan bisa.[15]
Konsep ash-sharfah, seperti yang dipahami pengikut Mu’tazilah, sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional. Sebab, dalam i’jâz ada unsur tantangan (tahaddi) yang tentunya menuntut adanya kemampuan manusia (al-qudrah al-basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’âradhah). Logikanya, ketika Al-Qur’an menantang manusia untuk membuat yang semisalnya, ia benar-benar menuntut manusia untuk melakukan itu. Hanya saja, mereka tidak mampu melakukan perlawanan dengan membuat semisal Al-Qur’an. Berikut ini ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لاَيَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 88)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, ‘Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur’an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Yûnus [10]: 38)
أَمْ يَقُوْلُوْنَ اْفتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur’an itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Hûd [11]: 13)
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِ إِن كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thûr [52]: 34)
فَإِن لَمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 24)
Ayat-ayat di atas, semuanya berisi tentang tantangan Allah swt. pada orang-orang kafir untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an jika mereka menganggapnya ucapan manusia. Dan, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal Al-Qur’an menunjukkan kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah kalâmullâh, bukan “karya” Rasulullah saw. Jika benar merupakan hasil karyanya, tentu dengan kemampuan bahasa dan sastra yang dimilikinya, orang Arab bisa membuat bahkan bisa jadi lebih indah dengan “karya” Rasulullah saw. sendiri. Tetapi, kenyataannya mereka tidak mampu. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak mampu membuat semisal Al-Qur’an karena pengetahuan dan keterampilannya dicabut dan dihilangkan oleh Allah (ash-sharfah).[16]
Sejak munculnya paham Mu’tazilah tentang Al-Qur’an pada awal abad ke-3 hijriah, diskursus i’jâz Al-Qur’an tersebut pada gilirannya melahirkan karya-karya tulis yang secara spesifik membicarakan i’jâz al-Qur’ân. Al-Jahizh (w. 255 H) menulis kitab Nazh Al-Qur’an, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi (w. 306 H) dengan kitabnya i’jâz al-Qur’ân, yang kemudian oleh Al-Jurjani kitab tersebut disyarahi dengan nama “Al-Mu’tadhad”. Selanjutnya, Abu ‘Isa Ar-Rummani (w. 382 H), disusul Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (w. 403 H) menulis kitab I’jâz Al-Qur’ân, sebuah kitab yang mengulas tentang i’jâz al-Qur’ân secara panjang lebar, dan Abu Bakr Abdulqahir bin ‘Abdurrahman Al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitabnya Dalâ’il Al-I’jâz. Tokoh lain yang juga menulis tentang i’jâz al-Qur’ân adalah Abu Sulaiman Hamd ibn Muhammad ibn Ibrahim Al-Khaththabi (w. 388 H), Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Ibn Abi Al-Ishbi’ (w. 654 H) dan Az-Zamlakani (w. 727 H).
Sedangkan, karya tulis tentang i’jâz al-Qur’ân di masa modern, di antaranya Mushtafa Shadiq Ar-Rafi’i dengan bukunya “I’jâz Al-Qur’ân wa Al-Balâghah An-Nabawiyyah”, Muhammad Abu Zahrah menulis “Al-Qur’an Al-Mu’jizât Al-Kubrâ”, kemudian Muhammad Karim Al-Kawwaz dengan “Al-Uslub fi Al-I’jâz Al-Balâghi li Al-Qur’ân Al-Karîm”, lalu ‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan “Al-I’jâz Al-Bayâni li Al-Qur’ân al-Karîm, selanjutnya Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah dengan bukunya “Al-Qur’ân Yatahadda”, dan Zaglul An-Najjâr dengan bukunya “Qâdhiyyah Al-I’jâz Al-‘Ilmi”, dan masih banyak karya tulis lainnya.
Aspek-aspek I’jâz Al-Qur’ân
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar (al-mu’jizah al-kubrâ) bagi Nabi Muhammad saw., sebagai bukti kebenaran risalahnya dan menunjukkan bahwa Al-Qur’an datang dari Allah swt. Dalam koteks ini, aspek-aspek i’jâz al-Qur’ân merupakan alat bukti terhadap kemukjizatan Al-Qur’an tersebut, sebab aspek-aspek i’jâz Al-Qur’ân adalah semua yang terkandung dalam Al-Qur’an yang membuktikan kebenaran bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.[17]
Oleh karena itu, tidak ada kajian yang begitu intensif hingga menyibukkan banyak ulama dari satu generasi ke genarasi berikutnya seperti kajiannya tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an tersebut.[18] Namun para ulama berbeda pendapat tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H), misalnya, berpendapat bahwa aspek I’jaz Al-Qur’an ada empat, (1). Keindahan susunan, , (2) Bentuk susunan dan gaya bahasa yang indah yang berbeda dengan lazimnya, (3) Memuat informasi prediktif yang belum terjadi, (4) Memuat informasi yang jauh telah lalu terjadi. Sementara Al-Qurthubi (w. 684), menyebutkan ada sepuluh aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an dengan menambahkan aspek: (1) terpenuhinya janji-janji yang disebutkan Al-Qur’an, (2) memuat informasi ilmu pengetahuan syariah dan lainya. (3) memuat hikmah-hikmah yang agung, (4) adanya kesesuaian (tanasub) kandungan isi Al-Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, (5) memuat informasi hal-hal yang bersifat metafisik.
Sementara itu, aspek I’jaz Al-Qur’an dalam pandangan sarjana modern dikatagorikan dalam enam, yaitu: (1) Al-Qur’an adalah teks sastra yang tinggi, (2) I’jaz dalam aspek nagham Al-Qur’an, (3) kitab yang tak terkalahkan dan tidak tertandingi oleh siapa pun, (4). Al-Qur’an memiliki nilai spiritual yang dapat memberikan sentuhan jiwa kepada manusia, (5) I’jaz Al-Qur’an dari sisi jumlah kalimat dalam Al-Qur’an.[19]
Jika dianalisis pendapat tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an maka dapat disimpulkan dalam dua hal: [20]
- I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan manhaj bayani, yakni i’jaz yang berkaitan dengan keindahan bahasa dan sastra, serta makna dan kandungan Al-Qur’an.
- I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan informasi tentang sejarah dan informasi yang bersifat prediktif, maupun ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik maupun lainnya.
Berbeda halnya dengan Imam Al-Qurthubi yang menyebutkan bahwa aspek kemukjizatan Al-Qur’an ada 10 yaitu:
- Nazhm Al-Badî’ atau susunan bahasa yang indah dan berbeda dengan susunan umum yang digunakan masyarakat Arab ketika itu.
- Al-Uslûb atau diksi yang digunakan berbeda dengan diksi-diksi dalam bahasa Arab.
- Al-Jazâlah atau al-fashâhah.
- At-Tasharruf fi lisân al-‘arab.
- Kabar tentang penciptaan dunia.
- Al-wafâ’ bi al-wa’di.
- Mengabarkan perihal gaib.
- Memuat berbagai ilmu yang dibutuhkan makhluk.
- Hukum-hukum yang detail dan komprehensif yang tidak mungkin bisa dibuat oleh manusia.
- At-Tanâsub.[21]
Penutup
Jika ada kesalahan dalam makalah ini mohon dimaklumi dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Jika ada kelebihannya, itu semua tidak lain datangnya dari Allah swt. Terakhir, semoga guru kita dan keluarganya yang mengajarkan ilmu ini (Dr. Ahmad Fathoni) mendapatkan barakah dalam hidupnya, di dunia dan akhirat serta mendapat ridha dari Allah swt. Amin.
Daftar Pustaka
Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003)
Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar al-Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th)
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Halabi, 1370 H)
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun, 1997)
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Libanon: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, 1957)
Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th)
Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.)
Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)
Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H)
Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt)
Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-Shadir, 2001)
Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun, 1956)
Footnote
[1] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub, 2003) Hal. 69.
[2] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 70-71.
[3] Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Hal. 738. Lihat juga, Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar al-Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th), Jil. I. Hal. 81.
[4] Lihat juga, QS. At-Taubah, ayat 2. QS. Al-‘Ankabût, ayat 22 dan QS. Al-Hajj, ayat 51.
[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Halabi, 1370 H), Jil. II, Hal. 311.
[6] Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun, 1997) Jil. I. Hal. 101.
[7] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jil. II, Hal. 311.
[8] Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Libanon: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, 1957) Jil. II, Hal. 98.
[9] Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th), Jil. IV. Hal. 182-183.
[10] Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 10.
[11] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005) hal. 99
[12] Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 4-5.
[13] Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H) Hal. 10.
[14] Tercatat ada beberapa bagian dari al-Qur’an yang ditolak al-Ja’d bin Dirham, seperti ayat tentang percakapan antara Allah dengan Nabi Musa. Beberapa pengikutnya bahkan menolak secara berlebihan, seperti pengikut Abd al-Karim bin ‘Ajrad pada akhir tahun 100 H an, mengatakan bahwa surat Yusuf bukan lah termasuk al-Qur’an, karena itu hanyalah cerita (qishshah) belaka. Bahkan pengikut al-Rafidhah beranggapan bahwa al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi, karena al-Qur’an sudah terjadi perubahan dengan penambahan dan pengurangan di sana sini. Demikian pula yang terjadi dengan sunah telah terjadi perubahan-perubahan. Semua pemahaman tersebut bersumber dari tokoh Mu’tazilah, Hisyam bin al-Hakam. Lihat catatan kaki Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt), hal. 143
[15] Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th.) hal. 144.
[16] Baca Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, jil. IV. Hal. 184-189.
[17] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-Shadir, 2001). Hal. 126.
[18] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun, 1956) Hal. 78.
[19] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 166-170.
[20] Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 126-128.
[21] Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 75.